Laporan Khusus 2020: Catatan dari Guest Lecture di Penghujung Tahun: Keajaiban itu Bernama “Neuroplasticity”

 

Senior Scientist-Research Professor of the University of Florida, USA; Irawan Satriotomo, M.D, Ph.D memandu peserta pada sesi praktek Workshop in Neuroscience: “Stroke Research, Spinal Cord Injury and Neurobhavior Assessment” FK UII, pada 2018 silam.

YOGYAKARTA (fk.uii.ac.id)TUBUH manusia merupakan anugerah dari Allah Subhanallahu wa Ta’ala yang penuh dengan keajaiban di dalamnya. Salah satu keajaiban pada tubuh manusia adalah “neuroplasticity” atau neuroplastisitas. Untuk mengetahui lebih dalam tentang hal tersebut, Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) kembali menghadirkan Senior Scientist/Research Professor Irawan Satriotomo, M.D., Ph.D dari University of Florida, Gainesville, USA untuk berbagi ilmu di hadapan 300 peserta yang terdiri dari dosen, mahasiswa, dan peserta umum dalam kegiatan Virtual Guest Lecture (VGL) yang berlangsung pada 28 November 2020 lalu.

Research Professor Irawan Satriotomo, M.D., Ph.D atau lebih akrab dipanggil Prof. Irawan, merupakan pakar neurosains di University of Florida yang sangat concern dengan berbagai penelitian serta publikasi ilmiah di tingkat internasional. Di salah satu universitas terkemuka di negeri Paman Sam tersebut, beliau tercatat sebagai konseptor berdirinya neurobehavioral laboratory dan histopathology and molecular biology laboratory, serta mengembangkan berbagai topik penelitian penting dalam dunia penelitian neurosains, seperti: the rodent model of spinal cord injury and stroke research, transient middle cerebral artery occlusion (tMCAO), permanent distal MCAO (pdMCAO), white matter stroke, hemorrhagic stroke, dan sebagainya.

Selain itu, Prof. Irawan juga merupakan CEO dan founder dari TissuePro Technology, sebuah Biotechnology Company yang menyediakan berbagai reagen yang digunakan di berbagai sektor biomedikal dan industri farmasi. Beliau juga aktif di bidang publikasi ilmiah serta menjadi editorial board pada berbagai jurnal, seperti: Journal of Behavioral and Brain Science (JBBS), Malang Neurology Journal, Current Neurobiology, Journal of Physiology and Pathophysiology, dan EC Neurology.

Pada VGL kali ini Prof. Irawan membedah dengan detail topik neuroplastisitas kepada para audiens. Menurut Prof. Irawan, neuroplastisitas atau juga dikenal sebagai neural plasticity atau brain plasticity merupakan kemampuan jaringan saraf di otak untuk berubah melalui dan reorganisasi, sehingga neuron dapat mengubah fungsi, profil kimianya (jumlah dan jenis neurotransmitter yang dihasilkan) atau strukturnya.

Perubahan tersebut berkisar pada neuron-neuron individu yang membuat koneksi-koneksi baru, hingga penyesuaian-penyesuaian sistematis di otak. Termasuk di dalamnya perubahan sirkuit dan jaringan yang dihasilkan dari mempelajari kemampuan baru, pengaruh lingkungan, latihan, stres fisik, dan psikologis.

Istilah neuroplastisitas pertama kali diperkenalkan oleh William James (1842-1910), seorang psikolog dan filsuf dari Amerika Serikat, namun pertama kali digunakan (secara ilmiah-red) oleh Jerzy Konorsky dari Polandia pada tahun 1948 untuk menggambarkan perubahan yang diamati dalam struktur saraf.

Terdapat dua tipe dari neuroplastisitas, yaitu :

1. Neuroplastisitas Struktural

Perubahan terletak pada kekuatan koneksi antara neuron dan atau sinapsis. Termasuk dalam neuroplastisitas struktural, yaitu :

  1. Synaptic Plasticity

Mengacu pada perubahan kekuatan koneksi antar sinapsis. Terdapat dua macam synaptic plasticity, yaitu :

    • Short Term Synaptic Plasticity (STSP)

Mekanisme ini menyebabkan berbagai perubahan singkat di sirkuit otak. STSP tidak dapat memfasilitasi ingatan atau plastisitas bentuk lain yang bertahan selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bertahun-tahun.

    • Long Term Synaptic Plasticity (LTSP)

LTSP meliputi :

      • Long Term Potentiation (LTP)

Pola aktivitas sinaptik di sistem saraf pusat yang menghasilkan peningkatan kekuatan sinaptik yang bertahan lama. LTP terjadi pada sinaps eksitatorik di hipokampus, korteks, amygdala, dan serebelum.

      • Long Term Depression (LTD)

Kebalikan dari LTP, LTD merupakan pola aktivitas yang menghasilkan penurunan kekuatan sinaptik yang bertahan lama. Sejatinya LTD menyerupai LTP dalam banyak hal, tetapi ditandai dengan penurunan kekuatan sinaptik. LTD juga disinyalir terlibat dalam mekanisme pembelajaran yang terjadi di otak kecil.

  1. Synaptogenesis

Merupakan pembentukan sinapsis baru (saat lahir setiap neuron memiliki sekitar 2.500 sinapsis, pada usia 2-3 tahun berkembang menjadi 15.000 sinapsis). Synaptogenesis bergantung pada keberadaan sel glia, terutama astrosit. Astrosit juga berfungsi untuk mensuplai kolesterol yang diperlukan untuk proses synaptogenesis agar kadarnya tetap tinggi.

  1. Neuronal Migration

Proses penting untuk pengembangan sistem saraf dan melibatkan tiga fase berbeda, yaitu: extension of the leading process, movement of the cell body, dan retraction of the trailing process.

  1. Neurogenesis

Merupakan proliferasi atau perkembangan secara cepat neuron baru pada sel otak. Sel induk berkembang menjadi sel piramida dan selanjutnya menjadi sel dewasa.

  1. Neural Cell Death (NCD)

Merupakan bentuk dari apoptosis dan memainkan peran penting dalam perkembangan saraf normal. Beberapa hal yang mendasari terjadinya NCD, antara lain:

    • Beberapa akson gagal mencapai target normalnya, dan kematian sel adalah cara untuk menghilangkannya,

    • Kematian sel dapat menjadi cara untuk mengurangi ukuran kumpulan saraf menjadi sesuatu yang sesuai dengan ukuran target,

    • Kematian sel dapat mengimbangi masukan presinaptik yang terlalu kecil untuk mengakomodasi neuron tertentu, dan

    • Sebagai sarana untuk menghilangkan kesalahan koneksi antara neuron dan organ ujung spesifiknya.

2. Neuroplastisitas Fungsional

Menggambarkan perubahan permanen dalam sinapsis karena proses pembelajaran dan perkembangan.

Selain itu, terdapat pula teori lain mengenai tipe neuroplastisitas. Prof. Irawan memaparkan bahwa pada tahun 2000, Jordan Grafman mengidentifikasi empat tipe dari neuroplastisitas, yaitu:

a. Homologous Area Adaptation

Terjadi selama periode kritis awal perkembangan. jika suatu komponen otak tertentu mengalami kerusakan di awal kehidupan, maka fungsi dari bagian yang rusak tersebut akan bergeser ke area otak yang sehat. Contoh: bila terdapat kerusakan pada lobus parietal kanan selama perkembangan, maka lobus parietal kiri akan mengambil alih fungsi visuospasial.

b. Map Expansion

Diperlukan adanya fleksibilitas pada regio-regio lokal di korteks serebri otak untuk diperuntukkan melakukan satu jenis fungsi atau menyimpan suatu informasi tertentu. Susunan regio lokal inilah yang disebut sebagai “peta/map”. Fenomena ini biasanya terjadi pada saat seseorang belajar dan melatih skill-nya, contoh: memainkan alat musik.

c. Cross-Modal Reassignment

Merupakan kemampuan otak untuk mengatur ulang dan membuat perubahan fungsional untuk mengimbangi defisit sensorik yang terjadi. Contoh: kemampuan seorang dewasa yang tunanetra sejak lahir untuk memiliki sentuhan dan input somatosensoris lainnya yang diarahkan ke korteks visual.

d. Compensatory Masquerade

Otak manusia memiliki kapasitas untuk menentukan “strategi alternatif” dalam melaksanakan suatu pekerjaan ketika strategi/rencana awal tidak dapat dilaksanakan karena berbagai hambatannya. Contoh: ketika seseorang mencoba memetakan (untuk berpindah) dari satu lokasi ke lokasi lainnya.

Di akhir presentasinya, Prof. Irawan menjelaskan tentang sepuluh prinsip neuroplastisitas seperti dikutip dari teori yang pernah disampaikan Kleim dan Jones (2008), yaitu :

  1. Use it or lose it

Kegagalan untuk menjalankan fungsi otak tertentu dapat menyebabkan hilangnya kemampuan. Untuk itu kita perlu menjaga kemampuan otak dengan mengoptimalkan fungsinya.

  1. Use it and improve it

Melatih fungsi otak dapat meningkatkan kemampuan spesifik dari otak itu sendiri.

  1. Specificity

Sifat dari pengalaman yang didapatkan dari pelatihan otak akan menentukan sifat perubahan di otak.

  1. Repetition Matters

Perubahan (plasticity) membutuhkan pengulangan yang cukup.

  1. Intensity Matters

Perubahan (plasticity) membutuhkan pelatihan otak yang intensif.

  1. Time Matters

Perbedaan bentuk perubahan di otak terjadi pada waktu yang berbeda selama pelatihan.

  1. Salience Matters

Pengalaman pelatihan otak harus bermakna bagi orang tersebut agar dapat menyebabkan perubahan (plasticity)

  1. Age Matters

Perubahan yang dipicu oleh pelatihan akan lebih mudah terjadi pada otak yang lebih muda usianya.

  1. Transference

Perubahan fungsi sebagai hasil dari satu pengalaman pelatihan otak, dapat pula terjadi pada pembelajaran keterampilan serupa lainnya.

  1. Interference

Perubahan otak yang mengakibatkan kebiasaan buruk dapat mengganggu pembelajaran kebiasaan baik.

Saat ini pengkajian tentang neuroplastisitas terus berkembang pesat termasuk menyinergikannya dengan kemajuan teknologi sehingga lahirlah berbagai penemuan canggih seperti Brain Computer Interface (BCI) dan Brain Machine Interface (BMI).

BCI merupakan sistem yang mengukur aktivitas sistem saraf pusat (SSP) dan mengubahnya menjadi impuls buatan yang memulihkan, menambah, meningkatkan, atau bahkan menggantikan impuls SSP yang alami, sehingga mengubah interaksi yang sedang berlangsung antara SSP dengan lingkungan eksternal atau internalnya. BCI sering diarahkan untuk meneliti, memetakan, membantu, menambah, atau memperbaiki fungsi kognitif atau sensorik manusia.

Sedangkan BMI merupakan sistem yang memungkinkan terjadinya jalur komunikasi langsung antara otak dan perangkat eksternal. Aplikasi BMI sangat bermanfaat untuk kepentingan klinis ataupun non klinis. Sebagai contoh saat ini telah banyak dikembangkan aplikasi BMI untuk membantu pasien penyandang disabilitas, seperti digunakan untuk mengendalikan tangan robotik ataupun kursi roda bagi para difabel. Untuk aplikasi non klinis, BMI telah dipakai untuk menjalankan berbagai perangkat mesin seperti kendaraan militer, pesawat, dan sebagainya.

Kehadiran Prof. Irawan sebagai pemateri pada VGL kali ini merupakan yang ketiga kalinya beliau membagi ilmunya di FK UII. Di kesempatan sebelumnya, Prof. Irawan pernah mengampu kegiatan Workshop: “How to write manuscript for International Journal: Tips and Tricks” dan Penciptaan Lingkungan Akademik (PLA) dengan tema “Update on Neuroscience Research” yang diikuti 100 audiens pada Rabu, 10 Mei 2017 di Auditorium Lantai I FK UII.

Dalam pemaparan materinya saat itu, Prof. Irawan menjelaskan secara detail dan gamblang tentang poin-poin penting dalam menulis sebuah jurnal yang berdaya saing tinggi hingga tingkat internasional, mulai dari menemukan ide, pembuatan kerangka konsep, hingga bahasa penulisan dan konten isi yang baik dan menarik bagi seorang editor. Pada sesi PLA, Prof. Irawan menyampaikan tentang berbagai perkembangan terkini mengenai penelitian neurosains, mulai dari perkembangan sejak era tahun 2000 awal hingga saat ini, termasuk mengenai gene therapy yang diyakini banyak ahli dapat menjadi solusi pengobatan berbagai penyakit saraf pusat di masa mendatang, seperti parkinson, alzheimer, hingga spinal cord injury.

Selain itu beliau juga pernah menjadi pemateri “Workshop in Neurosains : Stroke Research, Spinal Cord Injury and Neurobehaviour Assessment” dengan jumlah peserta terbatas sebanyak 30 orang dari kalangan dosen biomedik, neurosaintis, peneliti, dan klinisi yang berasal dari berbagai kota di Indonesia pada tanggal 8-9 September 2018 di Laboratorium Terpadu FK UII.

Pada kegiatan tersebut peserta workshop mendapatkan berbagai ilmu mengenai cara pembuatan model hewan coba kasus stroke dengan jenis prosedur middle cerebral artery occlusion (MCAO) dan white matter stroke (WMS) pada tikus. Peserta juga mempelajari cara pengambilan spesimen otak dengan metode perfusi transkardial dan memperkenalkan metode penilaian kerusakan jaringan otak dengan TTC staining. Selain itu peserta juga berkesempatan untuk belajar membuat model hewan coba dengan kerusakan saraf spinal serta mempelajari cara menilai perilaku hewan coba (neurobehaviour assessment) dengan menggunakan Morris water maze and Y maze.

Indonesia patut berbangga memiliki anak bangsa seperti Prof. Irawan yang mampu membuktikan kepada dunia internasional bahwa kita juga memiliki kemampuan yang tidak kalah dalam hal penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang neuroscience. Semoga apa yang telah diajarkan Prof. Irawan menjadi pelecut semangat para mahasiswa ataupun scientist muda untuk makin giat belajar, meneliti, dan terus melebarkan sayap dalam berkarya, serta tetap tawadhu dan gemar membagikan ilmu yang bermanfaat bagi sesama. (dsh)