FK UII Bekali Dokter Umum dalam Penulisan Dokumen Rekam Medis dan Visum et Repertum Korban Kekerasan pada Anak
Yogyakarta (29/11) – Fakultas Kedokteran UII kembali menyelenggarakan webinar pengabdian masyarakat pada Jumat, 29 November 2024 yang dimulai pada pukul 13.00. Webinar yang diselenggarakan atas kerjasama Departemen Ilmu Kesehatan Anak dan Ilmu Kedokteran Forensik ini bertemakan Penulisan Dokumen Rekam Medis dan Visum et Repertum Korban Kekerasan pada Anak. Webinar ini dimoderatori oleh dr. Handayani Dwi Utami, M.Sc., Sp.FM sebagai Ketua Departemen Forensik, Etika dan Hukum FK UII, serta mengundang sebagai pembicara yaitu dr. Ade Febrina Lestari, M.Sc., Sp.A (K) sebagai Dokter Spesialis Anak RSA UGM, dan dr. Wahyu Dwi Atmoko, Sp.F sebagai Dokter Spesialis Forensik RS Moewardi sekaligus Dokter Pendidik Klinis FK UII.
Dalam sambutannya dr. Erlina Marfianti, M.Sc., Sp.PD sebagai Wakil Dekan Sumber Daya FK UII menegaskan bahwa webinar yang ditujukan untuk dokter umum ini sangat penting untuk para dokter. “Sangat perlu untuk bagaimana dokter melakukan penulisan rekam medis dan visum et repertum pada korban kekerasan pada anak, sehingga menjadi sebuah bukti dan sebuah dokumentasi yang baik agar dapat digunakan menjadi bukti secara hukum dalam persidangan.”, terangnya.
Kekerasan terhadap anak memiliki dampak pengalaman masa kecil yang buruk. Dalam paparan yang disampaikan dr. Ade bahwa terdapat banyak dampak yang ditimbulkan akibat kekerasan terhadap anak, “apalagi kekerasan seksual itu kompleks, dia pasti mendapatkan dampak kekerasan secara fisik dan secara emosional”, paparnya.
“Sedangkan penelantaran dan eksploitasi ini apabila berlangsung secara terus menerus dalam jangka waktu yang panjang maka akan menjadi toxic stress”, imbuhnya. Dalam penelitian toxic stress yang berkepanjangan terbukti dapat menimbulkan gangguan pada perkembangan otak. Paparan stres toksik yang kronis dapat memicu perubahan struktural dan fungsional di otak, termasuk pada area yang bertanggung jawab untuk pembelajaran, memori, dan regulasi emosi. Hormon stres yang terus-menerus dilepaskan akibat stres toksik dapat merusak sel-sel otak, mengganggu pembentukan koneksi saraf, dan menghambat pertumbuhan otak. Akibatnya, anak-anak yang mengalami stres toksik berisiko lebih tinggi mengalami gangguan perkembangan seperti gangguan belajar, gangguan perilaku, dan masalah kesehatan mental lainnya.
Dalam kaitannya dengan penulisan dokumen rekam medis dan visum et repertum, dr. Wahyu menyampaikan paparan terkait dengan alur dan struktur dokumen rekam medis. “Sangat penting menuliskan hasil pemeriksaan pada visum et repertum. Sehingga penyidik dapat mempelajari pada dokumen ini.”, jelasnya dalam presentasi. “Bisa jadi waktu persidangan bekas luka sudah sembuh, bahkan tidak berbekas luka sedikitpun, jadi ketika menuliskan hasil pemeriksaan harus lengkap, seperti mencantumkan foto ronsen, hasil swab dan lain sebagainya yang menunjukkan hasil pemeriksaan fisik”, imbuhnya.
Harapannya dengan adanya webinar ini para dokter umum dapat melakukan penulisan dokumen rekam medis dan visum et repertum apabila terdapat kasus kekerasan terhadap anak. Secara umum kita semua diharapkan mampu menjaga anak-anak kita agar mereka selamat dan mampu menjalani hari demi hari bagi anak yang mengalami trauma di masa kecil akibat berbagai macam kekerasan karena itu mereka akan menjadi generasi bangsa berikutnya. Tri