[:id]Imunisasi, Halal atau Haram?[:]
[:id]Oleh Dito Anurogo
Yogyakarta [14/10/2017] – Kontroversi imunisasi di dalam perspektif Islam menemukan titik terangnya di dalam Simposium dan Workshop Imunisasi [SWIM] 2017 yang diselenggarakan di lantai 4 Grand Ballroom Eastparc Hotel Yogyakarta oleh Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia bekerjasama dengan IDI dan IMANI PROKAMI. Prof. Dr. Drs. Makhrus Munajat, SH, M.Hum. menjelaskan bahwa pada dasarnya para ulama memperbolehkan imunisasi. Hal ini berdasarkan fatwa MUI No. 4 Tahun 2016 tentang Imunisasi.
Prof. Dr. Drs. Makhrus Munajat, SH, M.Hum saat menjelaskan materi.
Kredit foto oleh Dito Anurogo
Di dalam putusan fatwa tersebut juga dijelaskan terminologi tentang imunisasi dan vaksin. Imunisasi adalah suatu proses untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit tertentu dengan cara memasukkan vaksin. Adapun vaksin adalah produk biologi yang berisi antigen berupa mikroorganisme yang sudah mati atau masih hidup tetapi dilemahkan, masih utuh atau bagiannya, atau berupa toksin mikroorganisme yang telah diolah menjadi toksoid atau protein rekombinan, yang ditambahkan dengan zat lain, yang bila diberikan kepada seseorang akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit tertentu.
Selanjutnya, ketua komisi fatwa MUI DIY menjelaskan beberapa ketentuan hukum terkait imunisasi. Pertama, imunisasi pada dasarnya dibolehkan [mubah] sebagai bentuk ikhtiar untuk mewujudkan kekebalan tubuh [imunitas] dan mencegah terjadinya suatu penyakit tertentu. Kedua, vaksin untuk imunisasi wajib menggunakan vaksin yang halal dan suci. Ketiga, penggunaan vaksin imunisasi yang berbahan haram dan/atau najis, hukumnya haram. Keempat, imunisasi dengan vaksin yang haram dan/atau najis tidak dibolehkan kecuali digunakan pada kondisi al-dlarurat atau al-hajat, belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan suci, adanya keterangan tenaga medis yang kompeten dan dipercaya bahwa tidak ada vaksin yang halal. Kelima, dalam hal jika seseorang yang tidak diimunisasi akan menyebabkan kematian, penyakit berat, atau kecacatan permanen yang mengancam jiwa, berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya, maka imunisasi hukumnya wajib. Keenam, imunisasi tidak boleh dilakukan jika berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya, menimbulkan dampak yang membahayakan [dlarar].
Guru besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tersebut mengatakan bahwa ada beberapa kaidah tentang darurat dalam pengobatan. Pertama, darurat adalah suatu keadaan terdesak untuk menerjang keharaman. Kedua, darurat itu membolehkan suatu yang dilarang. Ketiga, jika ada dua mudharat [bahaya] saling berhadapan, maka diambil yang paling ringan.
Pemaparan materi oleh dr. Piprim B. Yanuarso, SpA[K]
Kredit foto oleh Dito Anurogo
Kontroversi lain terkait imunisasi dibahas secara mendalam oleh dr. Piprim B. Yanuarso, SpA[K]. Beliau mengemukakan beragam miskonsepsi [kesalahpahaman] dalam imunisasi dan peran komunikasi untuk mengubah miskonsepsi. Menurut CDC-WHO tahun 1996, ada enam miskonsepsi dalam imunisasi. Pertama, penyakit infeksi sudah menurun sebelum program imunisasi karena perbaikan higiene dan sanitasi, bukan karena imunisasi. Kedua, sebagian besar pasien tetap sakit setelah mendapat imunisasi; membuktikan vaksin tidak efektif. Ketiga, ada lot tertentu vaksin yang banyak menimbulkan KIPI [Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi]. Keempat, vaksin mengakibatkan efek samping berbahaya, sakit, dan kematian. Kelima, penyakit telah tereliminasi sehingga tidak perlu program imunisasi. Keenam, beberapa vaksin bila diberikan bersamaan meningkatkan risiko KIPI berbahaya dan beban sistem imun.
Sekjen PP IDAI ini juga menjelaskan perkembangan miskonsepsi imunisasi di Indonesia. Misalnya, imunisasi tidak bermanfaat karena seusai imunisasi masih bisa tertular penyakit; kejadian penyakit jarang, tidak berbahaya cukup dengan ASI dan herbal; kekebalan karena infeksi alamiah lebih baik daripada imunisasi; banyak imunisasi justru melemahkan kekebalan tubuh; anak yang tidak diimunisasi malah jarang sakit; vaksin berbahaya karena mengakibatkan kejang, lumpuh, merusak otak, menyebabkan autisme, kecacatan, dan kematian; vaksin mengandung bahan berbahaya seperti merkuri, alumunium, formaldehid; vaksin haram karena mengandung lemak babi, terbuat dari janin abortus, darah, nanah, organ binatang dan manusia; vaksin menyebarkan virus AIDS dan hepatitis B, imunisasi cukup sampai sembilan bulan; imunisasi cukup lima dasar lengkap; imunisasi penting hanya sesuai jadwal pemerintah, di luar jadwal pemerintah tidak penting; kalau sudah lewat jadwal tidak boleh diimunisasi; batuk pilek tidak boleh diimunisasi; sakit-mati adalah cobaan Tuhan, vaksinasi sama dengan tidak tawakal; program imunisasi adalah konspirasi Yahudi dan Amerika untuk melemahkan anak-anak muslim di seluruh dunia; penyakit sengaja disebarkan untuk kepentingan bisnis vaksin; pemerintah zalim memaksa semua bayi-balita diimunisasi; vaksin program imunisasi di Indonesia buatan Amerika untuk membuat anak muslim Indonesia bodoh; harga vaksin non-program mahal, menguntungkan konspirasi kapitalis; metode tahnik, bekam, herbal lebih murah dan efektif daripada imunisasi.
Penyebab semua miskonsepsi ini, menurut dr. Piprim B. Yanuarso, SpA[K]., ada beberapa hal. Pertama, ketidaktahuan atau kekurangan informasi terkait berbagai aspek imunisasi, seperti bahaya penyakit, manfaat imunisasi, isi vaksin, jadwal imunisasi, risiko KIPI. Kedua, pengalaman atau berita berlebihan tentang KIPI. Ketiga, informasi tidak benar yang sengaja disebarluaskan kelompok antivaksin, terapi alternatif, dan herbalis. Keempat, keyakinan agama. Untuk mengubahnya, beberapa hal perlu dilakukan. Seperti melakukan upaya komunikasi informasi edukasi secara terus-menerus, tatap-muka [individu, kelompok], media massa, jejaring sosial, bekerjasama dengan pemerintah daerah, dinas kesehatan, organisasi wanita, LPA, KPAI, dan melibatkan para tokoh agama.
Simposium yang dihadiri sekitar dua ratus peserta ini juga mendiskusikan beragam topik yang menarik dan menghadirkan para pakar di bidangnya. Seperti Dr. dr. Wikan Indrarto, Sp.A. yang menjelaskan tentang pengenalan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi; dr. Nurcholid Umam, SpA yang menguraikan tentang imunisasi apa dan mengapa; dr. Mei Neni Sitaresmi, Sp.A[K], Ph.D. yang membahas tentang jadwal imunisasi Kemenkes dan IDAI; dr. Erlina Marfianti, MSc., SpPD yang membahas tentang imunisasi tidak hanya untuk anak; dr. Yasmini Fitriyati, SpOG yang mengemukakan tentang pencegahan kelahiran cacat dengan imunisasi pada calon ibu.
‘’Tempat representatif, peserta antusias, pembicara memang pakar di bidangnya, panitia siip, makanan delicious,’’ ujar dr. Soeroyo Machfudz, MPH, SpA[K] saat dikonfirmasi melalui komunikasi pribadi. SWIM 2017 memang amat sayang untuk dilewatkan karena membahas imunisasi dari perspektif nan komprehensif. [Liputan oleh dr. Dito Anurogo, MSc.]
DA/SAA/Tri[:]