Thibbun Nabawi, Benarkah Tanpa Resiko?

Thibbun Nabawi, Benarkah Tanpa Resiko?

Penulis: Mohamad Rahman Suhendri, S.Ked – 14711034

Belakangan ini, tren Thibbun Nabawi semakin digemari oleh masyarakat, hal ini tercermin dari sering viralnya beberapa tulisan yang menyuarakan metode pengobatan Thibbun Nabawi, entah dari segi diet, pola makan, dan lain sebagainya. Terlepas dari banyak kekeliruan yang dipahami oleh masyarakat atau bahkan oleh pembuat narasi, fenomena ini dapat dijadikan sebagai pertanda bahwa masyarakat semakin sadar akan kesehatannya dan semakin dekat dengan pengobatan islam. Karena narasi-narasi yang beredar di sosial media terkesan melebih-lebihkan, akhirnya tidak sedikit yang kemudian mendewakan metode pengobatan ini hingga menganggap metode pengobatan lain termasuk kedokteran modern adalah metode pengobatan yang keliru dan berbahaya karena banyak menimbulkan efek samping.

Artikel ini sama sekali bukan untuk menyudutkan Thibbun Nabawi, bukan juga untuk menurunkan semangat masyarakat yang mulai tertarik dengan metode ini. Melakukan praktek pengobatan hanya berdasarkan semangat dan klaim tanpa melalui serangkaian uji klinis dapat menyebabkan banyak kekeliruan dan sesat pikir. Maka artikel ini penulis tujukan sebagai penyeimbang atas informasi yang banyak beredar di masyarakat agar masyarakat mengerti bahwa setiap metode pengobatan memiliki manfaat dan resiko, sehingga masyarakat dapat terhindar dari sikap ghuluw atau berlebih-lebihan terhadap metode ini.

Apabila diringkas dari berbagai pendapat ulama, Thibbun Nabawi adalah segala sesuatu yang disebutkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah yang Shahih yang berkaitan dengan kedokteran baik berupa pencegahan (penyakit) atau pengobatan.1 Beberapa jenis thibbun nabawi yang masyhur di masyarakat diantaranya bekam, habbatussauda, dan madu. Thibbun nabawi sejatinya lebih luas dari ketiga hal tadi, thibbun nabawi mencakup penjelasan Rasulullah SAW melalui ucapan, tindakan, dan persetujuan(taqrir) atas tindakan sahabat. Contoh takrir diantaranya adalah Rasulullah SAW menyetujui tindakan sahabat yang meruqyah orang yang tersengat kalajengking dengan surah al-faatihah.4

Kemanjuran suatu metode pengobatan membutuhkan ketepatan diagnosis, racikan obat, penentuan dosis, ketepatan cara penggunaan, indikasi, dan kontraindikasi.1 Apabila tidak dilakukan dengan prinsip yang benar, maka jenis pengobatan apapun termasuk thibbun nabawi dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan. Pengobatan bekam yang baik adalah yang memperhatikan prinsip sterilitas. Apabila prinsip ini tidak dijalankan, maka dapat terjadi penularan penyakit infeksi yang cukup berat. Studi meta-analisis dari 357 studi klinis menyimpulkan bahwa, bekam atau hijama merupakan faktor resiko definitif terhadap penularan hepatitis C.2 Studi lain menyatakan bahwa, hijama adalah salah satu mode transmisi hepatitis C berdasarkan 24.948 kasus hepatitis C yang terjadi di saudi arabia.3 Madu sendiri berpotensi mengandung toksin botulinum yang dapat menyebabkan infantile botulism yang menyerang susunan saraf pada bayi, sehingga Ikatan Dokter Anak Indonesia(IDAI) tidak menganjurkan pemberian madu untuk bayi dengan usia dibawah 12 bulan. Selain itu pernah ada laporan terjadinya sensasi rasa terbakar(burning sensation) pada penggunaan madu pada kulit dan reaksi alergi seperti gatal pada tenggorokan, hidung, kelopak mata, bengkak pada bibir, hidung tersumbat dan nyeri kepala.4 Habbatussauda(Nigella Sativa) juga pernah ditemukan menyebabkan hipoglikemia dan nyeri epigastrium pada pasien hepatitis C.5

Thibbun Nabawi ibarat pedang tajam. Manfaat pedang tersebut sangat tergantung dari keterampilan dan kemahiran orang yang menggunakannya. Jika pada penggunaannya belum memunculkan manfaat, bukan berarti dalilnya salah, namun kita yang belum mengetahui cara penggunaan yang tepat.

Daftar Pustaka

1. Bahrain, R. Haruskah Kedokteran Modern Dipertentangkan Dengan Thibbun Nabawi dan Herbal, Muslimafiyah Publishing, Yogyakarta. (2019)

2. El-Ghitany EM, Wahab MA, Wahab EWA, Hassouna S, Farghaly AG.
A comprehensive hepatitis C virus risk factors meta-analysis (1989-2013); Do
they differ in Egypt? Liver Int; 2014. Article in Press.

3. Madani TA. Hepatitis C virus infections reported in Saudi Arabia over 11 years of
surveillance. Ann Saudi Med 2007;27:191-4

4. Hakim, S.,Ismail S.A. Thibbun Nabawi Tinjauan Syari’at dan Medis, Gema Insani, Depok.2020

5. Nigella sativa on outcome of hepatitis C in Egypt. World J Gastroenterol. 2013;19(16):2529-36.