remaja dan ancaman seks pra-nikah

REMAJA DAN ANCAMAN SEKS PRA-NIKAH

Oleh     : dr.Titik Kuntari, MPH 

KETIKA permissivisme (kebebasan) sudah tidak dapat dibendung lagi – Maka, remaja adalah korban langsung dari fenomena tersebut. Ini semua jelas merupakan sketsa buram masa depan bangsa kita mengingat di pundak merekalah masa depan bangsa ini akan kita titipkan. Jika dulu problem utama biasanya ditujukan kepada sejauh mana pemahaman terhadap masalah seks dan berbagai resikonya (pendidikan seks). Memang harus kita akui bahwa pada saat itu, informasi seputar masalah seksualitas terbilang masih sangat minim sekali. Apalagi, masih ada kesan tabu seputar wacana seks untuk didiskusikan – dan transformasi penjelasan masalah ini dari orang tua kepada anak hampir 0 % jumlahnya. Kalaupun ada, biasanya dilakukan pada saat “pembekalan” pra-pernikahan atau khutbah nikah (uler-uler nikah) – itupun disampaikan dengan bahasa yang sangat sumir dan penuh simbol-simbol. Adanya pemahaman tabu-isme ini, memperbesar lingkaran permasalahan di kalangan remaja kita.

Saat ini, informasi seputar masalah seks sebenarnya sangat terbuka. Melalui internet – mungkin ada ratusan situs “porno” yang bisa diakses kapan saja dan oleh siapa saja tanpa memandang usia. Demikian juga dengan terbitnya berbagai buku seperti, Jakarta Under-Cover (Moamar Em-Ka) , Sex in the Kost & Campuss Fresh Chicken (Iip Wijayanto) dan masih banyak lagi. Atau melalui tayangan-tayangan di tv seperti fenomena di Trans-TV. Juga melalui acara-acara talk-show, on-air atau off-air. Seminar-seminar. Juga tulisan-tulisan dan berbagai artikel-artikel yang tersebar di berbagai media cetak – lokal, regional bahkan nasional.
 
Hanya saja, contain (muatan) kajian-kajian tersebut, harus ditelaah lebih jauh – nilai edukasi (pendidikannya) yang ada di dalamnya. Jangan-jangan, bukannya membuat remaja takut melakukan kegiatan menyimpang tersebut malah justru dengan melihat atau membaca materi tersebut – remaja-remaja kita malah terinspirasi untuk ikut-ikutan melakukannya. Ini juga menjadi masalah yang cukup serius, bagaimana menata informasi-informasi ini agar dapat memberi konstribusi yang positif (kostruktif) terhadap program morality-development (pembangunan moral) yang dirancang oleh pemerintah kita. Karena itu, jika pemerintah sejauh ini memberlakukan seleksi yang ketat terhadap film (sinetron) dengan mendirikan lembaga sensor film nasional , maka idealnya – pemerintah juga memiliki lembaga sensor untuk penerbitan buku-buku dengan setting tema seks dan turunannya. Tujuannya…? Tentu agar arus informasi seputar seks yang dikonsumsi oleh remaja-remaja kita tetap berada pada jalur yang benar yakni seks-edukasi (pendidikan tentang resiko-resiko seks pra-nikah) dan bukan seks-aplikasi.

PERDA
INFORMASI seputar masalah seks tanpa didukung perangkat regulasi yang memadai – hasil dari “pendidikan” tersebut juga akan tidak maksimal. Perangkat peraturan yang sangat mendesak untuk dibuat, berkaitan dengan upaya untuk mempersempit wilayah kemaksiatan seperti memperketat pengawasan terhadap hotel-hotel yang dimungkinkan digunakan sebagai tempat kencan. Artinya, PERDA: Penyelenggaraan Hotel harus ditingkatkan muatan-muatan proteksinya agar tidak disalah gunakan untuk hal-hal tersebut. PERDA berikutnya yang juga sangat dibutuhkan berkaitan dengan penyelenggaraan pentas-pentas seni dan acara-acara musik. Kontrol terhadap penyanyi-penyanyi seronok harus ditingkatkan. Dalam banyak pemberitaan, kita dapat membaca adanya kasus-kasus perkosaan setelah menonton acara-acara musik yang dilengkapi dengan aksi-aksi erotik, seperti penyanyi melucuti pakaiannya hingga menyisakan bagian-bagian pakaian yang sangat minimalis.

 
Selanjutnya, kita juga membutuhkan PERDA: Pengelolaan tempat-tempat wisata. Mengapa…? Sejauh ini, tempat wisata seperti pantai, taman, taman-taman kampus hingga zone-zone parkir di luar stadion-stadion olah raga yang di malam hari gelap – sangat potensial untuk dijadikan sebagai “tempat kencan” bagi remaja-remaja. Kita dapat melihat, malam hari di sepanjang jalan (koridor) dan taman kampus yang gelap di malam hari – di banyak tempat, nyaris saban malam dipenuhi sepeda-sepeda motor yang parkir dan di atasnya ada sepasang remaja yang sedang asyik masyuk melakukan adegan mesra. Demikian juga di zone parkir tempat-tempat fasilitas olah raga yang di malam hari juga penerangannya sangat minimalis (jika tidak ada event) , menjadi tempat favorit bagi remaja-remaja untuk memadu kasih. Dan pemberlakuan PERDA ini kalau bisa dilakukan secara serentak. Jika pemberlakuannya secara parsial, maka remaja-remaja tadi akan “lari” ke tempat-tempat yang perangkat regulasinya dianggap lebih longgar. Dan juga tidak boleh dilupakan, adalah PERDA: Pengelolaan Tempat-tempat Hiburan Malam agar tidak mudah dimasuki oleh remaja-remaja yang masih di bawah umur. Kontrol yang diberlakukan tentu akan sangat menyita energi karena dengan pertumbuhan gizi dan teknologi rias, remaja-remaja kita selintas terlihat seperti orang dewasa. Tetapi mekanisme pengecekan dengan KTP tentu akan memberikan informasi yang sesungguhnya.
 
Dua pendekatan ini (informasi yang sehat dan regulasi) diharapkan cukup lengkap untuk mengawal perkembangan moralitas remaja-remaja kita. Dan orang tua, jangan begitu saja mempercaya anak-anaknya – serta melepaskan pembinaan terhadap putera-puterinya karena sehebat apapun pembinaan-ekstra (di luar rumah) dan proteksi regulasi, tanpa adanya pendampingan terus menerus dari orang tua, hasilnya juga tidak akan maksimal. Sinergi antara pembinaan yang dilakukan pemerintah dan pembinaan yang dilakukan oleh orang tua akan mengawal remaja-remaja kita bergerak tumbuh ke arah moralitas yang baik. Insya Allah. Wallahu A’lamu Bishawwab