Menyikapi Realitas: Memahami Dilema antara Fitrah dan Hasrat?

Perilaku seks bebas telah menjadi perhatian publik sejak lama karena trennya yang cenderung meningkat. World Health Organization telah menghimpun data terkait kejadian penyakit infeksi menular seksual (IMS). Pada tahun 2020, terdapat 374 juta kasus IMS dengan mayoritas ditemukan pada usia 15-49 tahun. Hal ini menjadi catatan merah yang tersebar di berbagai belahan dunia (1,2).

Faktor yang menyebabkan penyakit IMS bervariasi. Perilaku seksual, kontak dengan penyandang IMS, bahkan orientasi seksual menjadi faktor tertularnya penyakit. Hubungan seksual berisiko hingga gonta-ganti pasangan menjadi faktor utama penyebaran penyakit menular seksual. Ironisnya, pada zaman modern ini, meningkatnya penyimpangan seksual berhubungan dengan meningkatnya kasus IMS. Penelitian yang dilakukan oleh Shover et al pada tahun 2018 menegaskan bahwa Same Sex Attraction atau ketertarikan sesama jenis meningkatkan 8 kali lipat terjadinya IMS (3,4).

Seolah telah dinormalisasikan, perilaku seks bebas bukanlah barang baru. Bahkan, isu kontroversial ini telah dikenal sejak zaman Nabi Luth. Sebagaimana diceritakan melalui firman Allah surat Al-Araf ayat 80-81 (5):

“Dan (Kami telah mengutus) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya, “Mengapa kamu melakukan perbuatan keji yang belum pernah dilakukan oleh seorangpun sebelum kamu? Sungguh, kamu telah melampiaskan syahwatmu kepada sesama lelaki, bukan kepada perempuan. Kamu benar-benar kaum yang melampaui batas.”

Seksualitas adalah fitrah yang dititipkan Allah kepada manusia. Bahkan, hubungan seksual dikatakan sebagai kebutuhan biologis yang diatur dalam Al-Qur’an dan Hadits. Namun, pemaknaannya mulai tergerus sehingga seksualitas kerap kali diartikan untuk memenuhi hasrat belaka (6,7).

Berdasarkan keyakinan masyarakat, permasalahan seksual merupakan isu yang hanya boleh dipahami oleh orang dewasa. Anak muda dirasa belum cukup umur untuk memahami permasalahan seksual. Padahal, pendidikan seksual menjadi cara yang perlu diterapkan sejak dini untuk memecahkan persoalan global ini (6).

Dalam Islam, pendidikan seks adalah metode yang digunakan agar manusia jauh dari perbuatan zina. Islam secara tegas melarang bahwa perbuatan zina adalah perbuatan yang keji. Rasulullah telah mengajarkan umatnya untuk menjauhi zina melalui sabdanya (6,8),

“Laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki, dan seorang laki-laki tidak boleh berada dalam satu selimut bersama laki-laki lainnya.” (HR. Muslim).

Perspektif Islam mengenai pendidikan seks sangat fundamental. Islam mengajarkan cara menjaga kesehatan tubuh serta kemaluan secara sistematis sejak usia belia. Pengenalan terhadap anatomi alat kelamin serta aurat menjadi bagian dari metode pembelajaran Islam. Pemisahan tempat tidur dengan orang tua, pemahaman hubungan mahram dan non-mahram, dan anjuran untuk menundukkan pandangan telah disampaikan oleh Rasulullah melalui haditsnya dan menjadi tindakan preventif terhadap penyelewengan seksual dan seks bebas (7,8).

Instansi pendidikan memegang posisi strategis untuk memberikan edukasi seksual, seperti pengadaan lokakarya cara merawat alat reproduksi. Namun, tidak banyak instansi pendidikan yang berperan dalam memberikan pendidikan seksual. Padahal, jika para peserta didik diberikan pendidikan seksual di kegiatan belajar mereka, hal tersebut dapat menjadi langkah kecil agar terbebas dari pelecehan seksual, bahkan penyelewengan seksual.

Persoalan mengenai pendidikan seks dan hubungan seksual masih meninggalkan dilema di masyarakat. Melakukannya sesuai dengan koridor yang telah dibatasi oleh Al-Qur’an dan Hadits adalah sebuah ibadah. Banyak jalan keluar yang ditawarkan oleh Islam agar menjauhi perbuatan keji tersebut, seperti menikah dan berpuasa. Oleh karena itu, pendidikan seks merupakan bagian dari ikhtiar untuk mengembalikan persoalan seks kepada fitrahnya dan tidak hanya didasari oleh sebuah hasrat (6).

Oleh : Siti Zahra Jasmine

NIM : 20711102

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Sexually transmitted infections (STIs) Prevention of STIs [Internet]. 2024 [cited 2024 Jun 13]. Available from: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/sexually-transmitted-infections-(stis)?gad_source=1&gclid=Cj0KCQjwsaqzBhDdARIsAK2gqnfbW-o5m-4IAXbC0atCaxu9E53EtBHIuSyg-DKRy82INPasDUD-gPkaApzrEALw_wcB

2. Suligoi B, Salfa MC, Lindh E, Ingrosso L. Sexually Transmitted Infections : How to Recognize and Prevent Them. Ragazzi di Pasteur. 2020. 1–72 p.

3. Shover CL, DeVost MA, Beymer MR, Gorbach PM, Flynn RP, Bolan RK. Using sexual orientation and gender identity to monitor disparities in HIV, sexually transmitted infections, and viral hepatitis. Am J Public Health. 2018;108:S277–83.

4. Pudjiati ASR, Imtihani H, Luthfiandi MR, Susetiati DA. Association Between Sexual Orientation and Sexual Contact with the Incidence of Human Immunodeficiency Virus (HIV) Infection in Dr. Sardjito General Hospital, Yogyakarta. Journal of the Medical Sciences. 2019;51(1):36–43.

5. Murtaza A, Awaluddin RZS. Larangan Homoseksual: Studi Analisis Tafsir Maqashidi pada QS. Al-A’raf [7]: 80-81. Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. 2022;5(1):17–28.

6. Bahri S. Pendidikan Seks untuk Anak dalam Perspektif AlQuran dan AlHadist. Misykat al-Anwar Jurnal Kajian Islam dan Masyarakat. 2020;3(1):97–106.

7. Zumaro A. Konsep Pencegahan Zina Dalam Hadits Nabi SAW. Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu al-Qur’an dan al-Hadits. 2021;15(1):139–60.

8. Musriaparto M. Hadits Tentang Pendidikan Seks Dan Pencegahan Kekerasan Seksual. SINTESA: Jurnal Kajian Islam dan Sosial Keagamaan. 2022;3(2):47–58.