Menjadi Dokter Profesional di Era Global

Di era globalisasi, persaingan adalah hal yang biasa termasuk profesi dokter. Hal ini terkait dengan fenomena banyaknya warga Indonesia yang berobat ke luar negeri. Setidaknya ada 250 ribu orang masyarakat berpenghasilan tinggi yang memilih untuk berobat ke Malaysia, belum yang terhitung untuk berobat ke Singapura dan Australia. Penyebab utama meraka melakukan pengobatan di luar negeri selain karena alasan peralatan yang lebih lengkap dan kemampuan tenaga medis tapi juga karena masalah komunikasi antara pasien dan dokter. Jika di Indonesia setiap dokter hanya melayani setiap pasien maksimal selama 15 menit sementara itu di luar legeri pasien diperlakukan sebaik mungkin dengan rata-rata durasi konsultasi 1 jam.

Dekan FK UII mengatakan hal tersebut di atas dalam acara Pelantikan dan Pengambilan Sumpah Dokter FK UII Angkatan VIII di Gedung KH. Kahar Muzakir pada Senin 1 Februari 2010. Ke-9 dokter baru tersebut adalah  Didik Warto, Al Junaidi, Lianita Pradena, Maulida Rahmawati, Intan Trangediantie Pertami, Eka Husnawaty Bahsoan, Adesya Rizqi Ferika, Eka Rosmarini Sari Wulan, dan Yohana Sahara. Dengan tambahan sembilan dokter baru ini, FK UII secara keseluruhan telah meluluskan 196 orang dokter yang sebagian besar telah tersebar di seluruh Indonesia.
Menanggapi fenomena di atas Prof. Dr. dr. H. Rusdi Lamsudin, M.Med.Sc, Sp.S(K) selaku Dekan FK UII mengajak para dokter yang baru disumpah untuk kembali ke fitrahnya sebagai dokter, di mana para dokter baru tersebut untuk tidak terjebak pada rutinitas profesionalisme yang sempit. Dokter menurutnya banyak yang meyakini bahwa ilmu kedokteran hanya terfokus pada masalah penyakit. padahal idealnya selain melakukan intervensi fisik, dokter harus berperan dalam intervensi moral dan sosial di tengah masyarakat, yang menerapkan trias peran dokter, di mana ia dapat sebagai agen perubahan (agent of change), agen pembangunan (agent of development), dan agen pengobatan (agent of treatment).
 
Dekan FK UII ini berharap bahwa sudah  saatnya pemerintah dalam hal ini Kementrian Kesehatan, Kementrian Pendidikan Nasional, dan institusi profesi dokter bekerjasama merumuskan modifikasi pembagian fungsi dokter pendidik, peneliti, dan pembagian tugas yang dibebankan. Hal ini dirasakan perlu karena menurutnya WHO telah lama mengkampanyekan The Five Stars Doctor dengan kemampuan sebagai pimpinan masyarakat (community leader), yang memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik (communicator), mampu mengelola (manager), pangambil keputusan yang andal (decision maker), dan penyedia layanan (care provider).
 
Rektor UII, Prof. Edy Suandi Hamid, M.Ec., dalam sambutannya lebih menekankan pada Kompetensi dan profesionalisme dokter termasuk kemampuan dalam mengemas jasanya sehingga trik untuk mendapatkan pasien adalah salah satu syarat yang tidak boleh ditawar lagi. Bahkan menjadi seorang dokter harus juga siap untuk ditempatkan dimanapun, tidak hanya terkonsentrasi di kota akan tetapi harus siap bilamana ditugaskan di daerah-daerah terpencil yang  memang membutuhkan. Karena itulah kemampuan dalam menjalin komunikasi dengan pasien harus terus diasah dan ditingkatkan sehingga nantinya dokter-dokter yang merupakan lulusan dari UII benar-benar dapat mengamalkan ilmunya sesuai dengan landasan universitas yakni dokter yang rahmatan lil alamin dan  selalu menjaga kode etik kedokteran.