Ironi Dukun Cilik

Ironi Dukun Cilik

Oleh dr. Sunarto

Heboh baru tentang peristiwa kematian naif akibat berdesakan pada antrian si dukun cilik menyita perhatian publik. Kejadian ini mirip dengan korban mati akibat pembagian zakat pada tahun lalu. Keduanya muncul di Jawa Timur. Fenomena dukun cilik Ponari yang kemudian disusul munculnya “pasangan” dukun cilik Dewi. Batu ajaib yang dikeramatkan sebagai media penyembuhan berbagai penyakit. Memang tidak aneh bagi sebagian masyarakat kita, tradisi mistis ini masih sangat kental. Mereka tidak mau tahu bagaimana mekanisme penyembuhan yang masuk akal atau tidak. Sebenarnya banyak alasan, mengapa mereka mandatangi praktek pelayanan kesehatan atau tempat penyembuhan lain. Beberapa faktor yang melatarbelakangi dikemukakan oleh seorang ahli antropologi kesehatan, Andersen, yakni karakter individu, kebutuhan, pengalaman, hubungan interpersonal, dan kemampuan

Karakter individu sangat berpengaruh terhadap kecenderungan memilih tempat pelayanan kesehatan atau sejenisnya. Karakter individu ini ditentukan oleh keadaan demografi, struktur sosial dan kepercayaan.. Persepsi sehat dan sakit masih sangat bervariasi di masyarakat. Keadaan ini yang mendorong orang apakah perlu berobat ke dokter atau tidak. Sementara, faktor kebutuhan juga menjadi penentu orang pergi berobat. Bagi mereka yang merasa sakit, tidak nyaman atau karena lamanya penderitaan dapat memaksa mendatangi praktek penyembuhan kemanapun tempatnya.
Kenaifan peristiwa pengobatan “dukun” cilik mungkin lazim jika masih terjadi di sebagian negara benua Afrika, bukan di Indonesia. Memang sangat unik karakter masyarakat kita dalam pilihan layanan kesehatan. Praktek pelayanan medis oleh tenaga kesehatan kita berada dalam posisi sulit. Bagi mereka yang merasa berpikir  modern, maju dan kaya, jika merasa sakit sedikit pergi ke Singapura untuk berobat. Mereka tidak mempunyai rasa kebanggan dan kepercayaan pada praktek layanan dokter sebangsa. Jangan-jangan memang perasaan nasionalisme juga sudah meluntur. Di pihak lain, sebagian besar rakyat kita lebih memilih praktek pelayanan  kesehatan alternatif, karena alasan lebih murah. Pengertian alternatif ini dipahami sebagai praktek orang pinter, paranormal hingga dukun cilik seperti Ponari dan Dewi. Kepercayaan terhadap keampuhan pengobatan pelayanan medis ke Singapura maupun  dukun cilik, sama-sama membawa sugesti kuat terhadap proses sembuh.

Faktor pengalaman dan hubungan interpersonal menjadi salah satu penentu orang memilih tempat  layanan kesehatan yang diinginkan. Persepsi puas atau tidak, sembuh atau tidak sembuh berdasarkan pengalaman yang bersifat individual. Pengalaman yang tidak mengenakkan karena ketidakramahan dan diskriminasi oleh  petugas kesehatan dapat menyebabkan orang beralih tempat. Situasi ini masih sering terdengar dan dialami terutama oleh pasien miskin ketika mendapatkan layanan medis di berbagai daerah. Harus diakui bahwa para petugas layanan publik kita masih memerlukan sosialisasi pemahaman tentang pelayanan publik berbasis hak.
Hal yang paling menarik adalah sejauhmana kemampuan masyarakat kita untuk memperoleh pengobatan. Perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran tidak secara otomatis mendekatkan akses bagi semua untuk mendapatkan layanan kesehatan yang lebih merata. Kemajuan dunia medis tidak sebanding dengan peningkatan kemampuan masyarakat untuk memdapatkannya. Keberadaan banyak rumah sakit, poli klinik, praktek dokter dsb seakan hanya diperuntukkan bagi mereka yang mampu membayarnya. Kondisi sosial ekonomi yang masih rendah menimbulkan persoalan sendiri pada tingkat kemampuan membayar masyarakat terhadap biaya pelayanan kesehatan. Kejadian sakit dan tingkat keparahannya akan mengenai siapa saja, kaya maupun miskin. Bagi si kaya (sebagian kecil masyarakat Indonesia) tidaklah masalah berapapun nilai besar biaya pengobatan asalkan penyakit yang dideritanya segera pulih kembali. Persoalan umum kita adalah sesungguhnya kebanyakan masyarakat masih sangat sulit mampu membayar sesuai tarif pelayanan medis di masa sekarang. Mereka “terpaksa” cenderung mendatangi praktek mendatangi praktek pengobatan non medis. Bagaimana dengan pelaksanaan program jaminan kesehatan selama ini. Bukankah program ini bertujuan untuk pemerataan akses pelayanan kesehatan bagi semua.  Apakah mereka tidak mendapatkan jaminan?
Ribuan orang yang berjubel rela menunggu agar mendapatkan keajaiban dari si dukun. Fakta ini merupakan cermin kegagalan pemerintah dan stakeholder kesehatan dalam melaksanakan program jaminan pelayanan kesehatan. Sesungguhnya antrian ribuan pasien di luar layanan medis merupakan sebuah ironi yang sangat memprihatinkan. Di tengah klaim-klaim keberhasilan pemerintah pada program Jamkesmas, BLT, penurunan harga BBM, tiba-tiba ditunjukkan oleh fakta bahwa masyarakat (banyak) tidak mendapatkan layanan yang sewajarnya. Tentu ini dibutuhkan penelitian untuk membuktikan alasan-alasan masyarakat mendatangi dukun cilik tsb.
Seharusnya Pemerintah introspeksi dan jujur mengakui bahwa monitoring terhadap berbagai pelaksanaan program layanan  dasar selama ini kurang berjalan dengan baik. Kebijakan Jamkesmas berjalan tanpa pengawasan yang cukup. Bagaimana sesungguhnya yang terjadi ketika pasien masyarakat miskin mendapat perlakuan dari Pemberi Pelayanan Kesehatan. Rumah Sakit, Puskesmas, Posyandu, praktek klinik lainnya baik yang berbentuk lembaga maupun individu sudah seharusnya terus berbenah diri melayani masyarakat secara maksimal. Perkembangan jaman yang diikuti oleh perubahan sosial akan mempengaruhi perilaku masyarakat
Iklim politik menjelang Pemilu 2009 ini sebaiknya menjadi momentum yang . Partai dan kandidat pemimpin harus memperhatikan nasib rakyat atas layanan publik secara riil. Bukan hanya saling mengklaim dirinya paling berhasil dan menuding lawannya gagal.. Fenomena dukun cilik ini seharusnya menjadi perhatian semua partai untuk bersama-sama memikirkan bagaimana mengurangi beban rakyat dan mencari solusi praktisnya. Rakyat kita masih cukup kesulitan memperoleh hak dasar seperti layanan kesehatan dan pendidikan yang layak. Diharapkan kepedulian para politisi dan penentu kebijakan terhadap sektor kesehatan untuk memperjuangkan peningkatan anggaran.