Reflesksi Hari Pahlawan Melestarikan Semangat Patriotisme

dr. Syaefudin Ali Akhmad,MSc – Wakil Dekan FK UII

Tanggal 10 Nopember tiap tahun diperingati sebagai hari pahlawan di negeri kita. Sampai hari ini tercatat sudah mencapai 163 orang yang sudah diakui sebagai pahlawan nasional terdiri 12 perempan dan 151 laki-laki. Bidang militer dan kepolisian paling banyak menyumbang tokok-tokoh pahlawan nasional mencapai 34 orang. Kelompok bangsawan dari keluarga ningrat atau kerajaan juga banyak yang menjadi pahlawan nasional karena kegigihannya melawan kompeni dan membantu perjuangan diplomasi untuk mengusir penjajah. Berikutnya tokoh sipil intelekual, politisi dan tokoh agama yang terlibat dalam pergerakan nasional. Mereka  berhak atas penghargaan sebagai pahlawan nasional  karena  tindakannya yang dianggap heroic  – didefinisikan sebagai “perbuatan nyata yang dapat dikenang dan diteladani sepanjang masa bagi warga masyarakat lainnya.” – atau “berjasa sangat luar biasa bagi kepentingan bangsa dan negara. Selain itu tindakan mereka yang penuh dengan jiwa patriotisme bermakna pengabdian dan perjuangan yang dilakukannya berlangsung hampir sepanjang hidupnya (tidak sesaat) dan melebihi tugas yang diembannya untuk membela martabat kemanusiaan khususnya kaum lemah, papa, dan tertindas di tanah airnya. Patriotisme tidak sekedar diartikan sebagai paham mementingkan tanah air atau cinta tanah air yang disimbolkan dengan menyanyikan lagu kebangsaan dan memberi hormat pada bendera merah putih tetapi lebih kearah semangat dan paham untuk membela dan membebaskan bangsa Indonesia dari penindasan, penjajahan, dan eksploitasi oleh pihak asing dan kroninya.  

 

Semangat patriotisme ditunjukan dengan sikap pantang menyerah terhadap musuh yang selalu mencoba mematikan jiwa Pancasila sebagai nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Lantas pada jaman ini di kala jaman aman sentosa tidak ada peperangan fisik bagaaimana untuk melestarikan semangat patriotism tersebut. Jika kita flash back ke belakang para tokoh pejuang seperti dokter Wahidin Sudirohusada, dokter Tjipto Mangoenkoesoema, dokter Soetomo, dokter Muwardi, dokter Leimena, dokter Sardjito, dokter Radjiman Wiryonegoro telah merintis berdirinya negara Indonesia sekaligus juga merintis munculnya para ahli kedokteran pribumi demi mewujudkan kesehatan masyarakat Indonesia. Tokoh-tokoh politik juga telah menunjukan semangat patriotism unuk merintis berdirinya negera Indonesia yang berdaulat meskipun harus siap dipenjara dan dibunuh sekalipun. Ahli hukum dan tata negara juga tidak kalah pentingnya dalam membentuk sistem pemerintahan Indonesia dalam tarikan berbagai paham seperti komunisme, kapitalisme dan liberalism. Tokoh-tokoh agama sepert KH Ahmad Dahlan juga menjadi perintis dalam menciptakan revolusi mental bagi para pengikutnya yang didasari nilai-nilai religious. Ahmad Dahlan mengajak umat islam Indonesia untuk konsisten dengan ajaran surat Al -Maa’un sehingga jangan hanya menjadi tukang ceramah dan tukang mendengar ceramah atau kajian tetapi ada gerakan nyata dengan peduli pada sesama, membantu yang kekurangan dari kalangan yatim piatu dan fakir miskin supaya tidak dianggap para pendusta agama. Semua tokoh tersebut memiliki semangat patriotisme yang tinggi dalam rangka merintis berdirinya Negara Kesatuan Republic Indonesia sehingga wajar mereka dikategorikan sebagai para perintis kebaikan di Indonesia. Sayangnya pemberian gelar kepahlawanan itu tidak mencakup golongan perintis kebaikan kurun waktu 1400-1800 seperti para wali yang sudah merubah wajah nusantara menjadi wajah bercahaya dengan nilai keesaan Allah swt.

Berbeda dengan para pahlawan kelompok perintis yang diakui perannya, maka sampai detik ini belum ada dari generasi pembangun sebagai generasi penerus perjuangan generasi perintis yang mendapatkan anugerah sebagai pahlawan nasional. Mungkinkah di era Jokowi ini akan muncul para pahlawan dalam program pembangunan di Indonesia baik dari kalangan Militer/POLRI, dunia kampus, tokoh agama maupun politik yang memiliki prestasi fantastis dalam membawa bangsa Indonesia lebih bermartabat, berkeadilan dan lebih sejahtera. Akankah patriotism mereka hanya menjadi patriotism simbolik saat upacara bendera dalam rangka peringatan hari kemerdekaan, hari kebangkitan nasional atau hari pahlawan dengan menyanyikan lagu kebangsaan dan memberi hormat pada bendera merah putih. Tokoh-tokoh intelektual pada periode cabinet pembagunan begitu banyak yang berasal dari kampus dengan karya-karya hebatnya yang pantas diberikan anugerah pahlawan nasional.

Pertanyaan yang lebih tajam lagi adalah mungkinkah tetap terjaga semangat patriotism para pahlawan di kalangan generasi penikmat dan generasi masa bodoh yang semakin banyak pada jaman ini. Ke mana dan di mana para generasi kedokteran yang dulu menjadi pioneer atau perintis perjuangan bangsa ini. Mengapa dunia kedokteran tertinggal jauh sekali dari negara tetanga kita. Ke mana dan di mana para generasi hukum yang dulu menjadi peletak dasar konstitusi negeri ini. Mengapa masalah hukum di negeri semakin ruwet seperti benang kusut yang sulit diurai. Ke mana dan dimana para tokoh agama yang hidup sederhana dan menjadi panutan umat. Mengapa sekarang agama menjadi kedok dan alat saja untuk kepentingan partai, kelompok dan individu tertentu saja. Ke mana dan di mana para tokoh pendidik yang memiliki jiwa patriotic seperti Ki Hajar Dewantara dan  dr. Wahidin Soedirohoesodo untuk mencerdaskan bangsa. Mengapa dunia pendidikan kita mutunya di bawah Malaysia, Thailand dan Filipina.

Tantangan globalisasi dengan masyarakat ekonomi asean 2015 dan AFTA 2015 setidaknya membutuhkan jiwa patriotic untuk menjaga jati diri bangsa dan menjaga “trust asset” bangsa ini supaya tidak jatuh ke tangan professional dari luar negeri. Saatnya semangat para pahlawan itu ditransformasi oleh generasi penerus pembangunan bangsa ini dalam rangka menyiapkan diri untuk berkompetisi secara sehat atau bersaing dengan para ahli luar negeri di pasar domestic Indonesia. Tantangan yang tidak kalah beratnya adalah tantangan dalam mengajak kepada nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang terasa semakin bertambah kompleksitasnya dan godaannya. Kecenderungan tokoh-tokoh agama sudah mulai ditinggalkan karena adanya teknologi informasi dengan bantun google bisa mengetahui apa saja sehingga umat ini semakin jauh dari ulama. Tokoh agama dituntut untuk meniru hujan yang harus mau mendatangi daerah seperti apapun. Janganlah ulama atau tokoh agama meniru model air PDAM yang akan selalu minta tariff saat memberi manfaat. Jangan pula tokoh agama seperti air sumur yang hanya bisa diambil oleh orang yang mau mengambilnya atau seperti air sungai hanya memberi manfaat untuk sekitar “alirannya” saja. Demikian halnya kalangan kampus juga harus bisa memanfaatkan momentum hari pahlawan dengan semangat/ruh patriotisme untuk merubah orientasinya dengan menempatkan Research and Development (R&D) menjadi primadona dengan target publikasi ilmiah yang terindex scopus, tercitasi dengan impact factor yang tinggi dan memiliki produk paten.  Dunia kampus bisa mengalami degradasi semangat patriotisme jika tidak dihadapkan pada tantangan real di era globalisasi yang semakin permissive, liberal dan transaksional. Oleh karena itu upaya melestarikan semangat patriotic menjadi urgent untuk menjaga kebelangsungan pembangunan bangsa dan negara. Bisakah presiden Jokowi mewujudkannya dengan revolusi mental untuk merubah mentalitas manja, masa bodoh, gampang main serobot,  dan mudah mengeluh menjadi mentalitas pejuang yang patriotic, jujur, tanggung jawab, memiliki integritas dan disiplin. Kita semua menunggu how atau bagaimana melakukan revolusi mental seperti yang dilontarkan presiden Jokowi. Hal ini terasa urgent karena semakin banyaknya generasi penikmat dan generasi masa bodoh di negeri ini. SAA/Wibowo/Tri