Mahasiswa FK UII, Ahmad Bima Aryaputra Ikuti Studi Visit Group of Passage To Asean

 Kaliurang (UII News- 14/8) – AFTA kemudian AEC/MEA, sudah didengung-dengungkan oleh para praktisi ekonomi yang akan diterapkan penuh pada tahun 2016. P2A bukan acara “jalan-jalan” (Travelling) namun  sebuah “Perjalanan” (Journey) untuk mengenal berbagai sisi kehidupan di Asean agar lebih siap menghadapi AEC.

Hal itu disampaikan oleh Achmad Bima Aryaputra, mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia yang mengikuti acara Studi Visit Group of  Passage To Asean (P2A), Universitas Islam Indonesia ke KMITIL, Bangkok, Thailand, pada 11-13 Agustus 2015 / 26 -28 Syawal 1436 H.

Diceritakan oleh Bima, delegasi dari UII diikuti dari berbagai Fakultas di UII dan hanya saya dirinya saja dari Fakultas Kedokteran. Tujuan dari journey ini adalah 3 negara dan 4 Universitas di penjuru Asia Tenggara. Perjalanan dimulai pada tanggal 10 Agustus 2015. Berangkat dari Stasiun Tugu , Yogyakarta, menuju Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Dari bandara, langsung bertolak ke Bandara Suvarnabhumi, Bangkok, Thailand, negara pertama yang kami kunjungi.

Dari bandara, kami sudah dijemput oleh pihak King Mongkuts Institute of Technology Ladkrabang (KMITL) menuju dormitory di area kampus untuk istirahat. Kegiatan kami semasa di KMITL adalah cultural exchange dan sesi diskusi, dimana kami mempelajari Thailand lewat diskusi dengan teman sebaya tentang berbagai hal. Sistem pemerintahan, Budaya ASEAN, Ekonomi, Kebijakan kesehatan, Pendidikan, AEC, dll. Di KMITL kami banyak dibantu oleh Muslim Student Club (MSC) , terutama dalam hal ibadah dan makanan halal disana, dimana mereka keebanyakan berasal dari Thailand bagian selatan yang mampu berbahasa Melayu. Kami melihat kesiapan KMITL dalam menghadapi AEC lewat cara mereka mendidik mahasiswa yang bertujuan tak hanya mampu bersaing secara nasional, namun juga mampu bersaing dalam dunia Internasional regional guna menghadapi AEC. Pengamatan saya tentang sistem pelayanan kesehatan disana, pemerintah tidak menyediakan layanan asuransi selayaknya BPJS. Selain itu terdapat jaringan antar rumah sakit sehingga mempermudah pelayanan rujukan pasien dan koordinasi dalam penanganan pasien gawat-darurat Bentuk rumah sakit di Bangkok mayoritas adalah gedung bertingkat dengan adanya layanan Doctor Heli. Pada hari terakhir di KMITL, kami menggunakan kendaraan darat menuju border Thailand-Cambodia.

 

Setelah melalui proses yang melelahkan di bagian imigrasi, kami menggunakan bus untuk menuju daerah Siem Reap. Di perjalanan kami mengamati keadaan Cambodia, hampir semua rumah-rumah panggung terkesan milik kalangan ekonomi bawah, namun hotel-hotel dan Casino berdiri megah di perbatasan. Di Seam Reap, tempat dimana Angkor Vat berada,  kami melihat kentalnya budaya “Beer” di lingkungan tourism, dimana-mana ada beer. Mata uang mereka adalah Riil, namun negara ini lebih sering menggunakan USD, pantas saja sulit mencari mata uang Riil di money changer. Nampak juga kesenjangan yang nyata dalam segi ekonomi. Namun, muncul secercah harapan, kebetulan hari dimana kami tiba di Siem Reap adalah hari Jumat, dimana kami harus mencari masjid untuk sholat jumat. Di sekitar daerah tourism terdapat komunitas Muslim, dimana mereka adalah minoritas di daerah itu. Disana lah tempat kami beribadah dan makan makanan halal dengan nyaman. Walau mereka minoritas, mereka memiliki semangat yang luar biasa. Walau mereka minoritas,sikap ramah dan santun tetap dikedepankan. Walau mereka minoritas, mereka tidak merasa terintimidasi, tidak banyak berkomentar, tapi tetap produktif. Kami terharu melihat semangat mereka. Selepas dari Seam Reap, kami menuju provinsi Kratie dimana Asian Institute of Cambodia (AIC) berada. Di AIC kami melakukan Comunity Service di salah satu Primary School dengan kondisi yang mengenaskan, dimana tidak ada listrik dan saluran air higenis. Kami melakukan berbagai hal mulai dari mengecat gedung sampaimerapikan halaman. Semua itu kami lakukan bersama dengan mahasiswa AIC. Kegiatan ini meningkatkan hubungan sambung rasa diantara kami. Esok nya, kami mengikuti acara diskusi di AIC dengan tema Negative impact because of cultural diversity in ASEAN Integration diikuti dengan pendapat dari para ahli yang bersangkutan. Bahkan kami melakukan upacara kecil di ruang pertemuan AIC dalam rangka HUT RI ke 70. Untuk pertama kalinya saya merayakan hari ulang tahun Indonesia di negeri orang. Bergetar hati saat lagu Indonesia Raya dinyanyikan. Sistem Pelayanan di Cambodia banyak terpengaruh oleh bantuan dari Thailand, sehingga memiliki Doctor Heli di perkotaan, namun kondisi yang memprihatinkan  di daerah pedalaman dimana pelayanan setingkat “Puskesmas” masih dibawah rata-rata. Pada sore harinya diadakan farewell party dan cultural exchange dan esoknya pagi-pagi sekali kami berangkat ke Pnomh Penh kemudian dilanjutkan perjalanan darat ke Vietnam.

Perjalanan panjang melewati border Cambodia-Vietnam memakan waktu panjang pula sehingga kami mencapai kota Ho Chi Minh pada malam hari. Kota yang merupakan pusat ekonomi negara yang notabene menganut sistem Komunis di negaranya namun sistem ekonomi di kota ini terkesan lebih liberal. Malam itu kami istirahat di hotel setempat, di kota ramai yang dahulu disebut dengan Saigon, tempat dimana para pemimpin Indonesia jaman perjuangan kemerdekaan bertemu dengan panglima perang Jepang. Tujuan pertama kami  di Saigon adalah FPY Software, bagian dari FPT Corporation, sebuah perusahaan multinasional yang masih muda namun berkembang amat pesat. Disana kami bertemu langsung dengan Director of FPT Software dan saya banyak belajar bagaimana cara membangun sebuah perusahaan, bagaimana cara menjaga etos kerja karyawan, dan banyak lagi. Selanjutnya kami menuju FPT University , disana kami melakukan Cultural Exchange dan berkenalan dengan teman-teman dari Vietnam sekaligus berusaha mengenal Vietnam lebih dalam. Sistem pelayanan kesehatan di Vietnam tidak menggunakan asuransi wajib dari pemerintah, namun ada asuransi bagi yang menginginkan, kendalanya adalah tidak semua biaya di cover oleh asuransi, hanya sekitar 60 %-70 % biaya perawatan ditangani oleh asuransi. Sistem pendidikan dokter pun berbeda, pada pendidikan klinis tingkat pertama mereka sudah terkonsentrasi untuk melanjutkan residensi, jadi setelah 6-7 tahun kuliah, mereka sudah terspesialisasi.Dengan 12 universitas yang memiliki Fakultas Kedokteran, Vietnam dirasa masih kekurangan tenaga kesehatan. Sedikit kesulitan mencari makanan halal di Vietnam, dimana presentasi muslim amat kecil. Mungkin diperlukan perluasan daerah dakwah untuk negara ini, agar semakin mudah untuk seorang Muslim tinggal di negara ini. Selain itu, warga Vietnam seperti tidak biasa dengan wanita yang menggunakan jilbab. Terlihat dari bagaimana mereka memandang kami. Esoknya kami mengunjungi Independence Palace, mantan istana negara Vietnam Selatan, disana kami mempelajari bagaimana Vietnam bisa menang dari Amerika. Tak lupa kami juga menikmati hal lain yang terkenal dari Vietnam, kopinya. Perjalanan kami lanjutkan menuju Da Nang, sebuah kota di tengah-tengah Vietnam menggunakan bis.

Perjalanan Ho Chi Minh- Danang lewat jalur darat membutuhkan waktu hampir 24 jam. Da Nang adalah coastal city dengan pantai yang indah dan ditujukan untuk tourism.  Sesampainya di Da Nang, kami di jemput oleh rombongan dari Duy Tan University (DTU) dan dibawa ke kampusnya dimana didalamnya terdapat dormitory  tempat kami tinggal. Selama perjalanan , pertama kalinya saya menemukan kampus yang memiliki Fakultas Kesehatan. DTU memiliki Fakultas Kesehatan dengan departemen keperawatan dan Farmasi, jadilah saya memiliki teman yang “nyambung” diajak bicara disini. Begitu sampai di DTU, istirahat sebentar di Dorm dan langsung mengikuti kegiatan Cultural Exchange dan Cultural workshop berupa penjelasan dari lectures setempat tentang kehidupan Vietnam. Agama besar di Vietnam adalah Budha, Kristen, dan Katolik, presentasi Islam tidak sebesar di Thailand dan Cambodia.  Kami selaku delegasi dari Indonesia menjelaskan kebudayaan Indonesia dan mempromosikan kebudayaan dan pariwisata Indonesia. DTU memiliki hari aktif 6 hari, dimana pada hari minggu  masih ada kelas kuliah dan kegiatan kuliah berlangsung dari pukul 7 AM-9 PM.  Acara selanjutnya selepas Cultural Exchange adalah mengunjungi beberapa tempat di Vietnam, diataranya Dragon Bridge, Marble Mountine, dan Da Nang Museum, dimana untuk mahasiswa yang memegang KTM diperbolehkan masuk museum secara gratis, hal ini perlu ditiru Pemerintah Indonesia untuk pencerdasan bangsa. Terlihat budaya warga Vietnam saat kami mengobservasi di perjalanan. Lalu lintas yang terkesan kacau dimana pejalan kaki tidak memiliki kesempatan di jalan dan terlau banyaknya sepeda motor, hal ini dikarenakan tingginya pajak untuk mobil. Acara kami berakhir di Da Nang International Airport menuju Bandara Internasional Soekarno Hatta, dan dari sana menuju Stasiun Gambir dengan tujuan akhir Stasiun Tugu Yogyakarta.

“ Menurut saya, perjalanan ini memberikan banyak pelajaran kehidupan. Pelajaran yang hanya bisa didapat saat melihat hal-hal baru secara langsung. Pelajaran yang didapat dari melihat berbagai jenis manusia dan berbagai perilakunya di dunia. Belajar menerima perbedaan, belajar peka terhadap lingkungan, belajar untuk menjaga diri, belajar untuk bersikap dewasa, dan belajar untuk berucap Alhamdulillah. Softskill dilatih tiap hari mengingat padatnya jadwal. Perjalanan ini bukanlah acara jalan-jalan yang difasilitasi travel , hampir semuanya kami persiapkan sendiri dengan biaya seadanya. Sekelompok manusia mengitari 3 negara dalam waktu 2 minggu. Perjalanan ini membuat saya semakin bersyukur dilahirkan sebagai seorang Muslim di Indonesia, negara terbesar di Asia Tenggara yang bepotensi menjadi poros ASEAN. Bagaimana ASEAN dapat menyatu dengan berbagai perbedaanya ? Jawabannya adalah toleransi. Seperti hal nya toleransi di Indonesia yang memiliki keragaman budaya yang tinggi.  Bagaimana ASEAN dapat sekuat NATO dan Uni Eropa ? ASEAN harus mengenal diri nya sendiri dan meningkatkan konektivitas antar negara, dimana selayaknya masyarakat ASEAN harus mempelajari setiap komponen ASEAN dan menerima serta memahami perbedaan dari tiap kebudayaam yang ada. AFTA, MEA, tidak akan sukses jika tidak didukung oleh masyarakat selaku konsumen dan produsen. Pentingnya pembekalan pada usia dini untuk membentuk kebudayaan yang khas ASEAN dan mendukung program-program ASEAN. Bukan lagi saat nya kita konsentrasi pada persaingan tingkat nasional, persaingan semakin meningkat dengan adanya MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN). FK UII perlu membekali mahasiswa nya untuk menghadapi MEA dengan penyesuaian kurikulum yang dikembangkan sehingga lulusannya memiliki standarisasi Internasional yang dapat menangani pasein di kondisi negara yang berbeda dengan Indonesia serta penggunaan bahasa Inggris untuk membiasakan mahasiswa berkomunikasi dengan warga asing. Jangan sampai dokter Indonesia kalah dari Dokter-Dokter Singapore, Malaysia, dan Thailand. Pihak FK UII perlu berdiskusi dengan Universitas lain di ASEAN yang memiliki fakuktas Kedokteran untuk membahas Standarisasi Pendidikan Tenaga Kesehatan tingkat ASEAN , jika FK UII ingin mengembangkan sayapnya di ajang MEA/AEC 2016”, demikian penjelasan dan cerita Achmad Bima Aryaputra sepulang mengikuti P2A. Wibowo/Tri