Lapar karena Bodoh, Bodoh karena Lapar

Lapar karena Bodoh, Bodoh karena Lapar
Oleh : dr. Sunarto

Kalimat diatas tengah menjadi anekdot di masyarakat terkait semakin mahalnya biaya pendidikan dan isu kasus gizi buruk yang semakin meluas. Dapat dibayangkan, bagi penduduk yang cukup mampu saja mengeluh, harus mengeluarkan rata-rata lima juta rupiah untuk bisa bersekolah ke jenjang SMA negeri. Kini terpaksa menjual motor atau sapi ternaknya untuk memenuhi pungutan sekolah. Secara rasional, bagi keluarga yang berpendapatan sekitar standar UMR misalnya tujuh ratus ribu rupiah perbulan, sungguh agak ngeri dibayangkan. Di awal Penerimaan Siswa Baru (PSB) harus membayar sebesar dua juta maka keluarga ini terpaksa puasa dua bulan setengah. Pengeluaran biaya pendidikan yang terus meninggi harus diiringi pengurangan mengkonsumsi gizi yang cukup. Peluang untuk cerdas dan produktif juga harus dikorbankan.

Akses memperoleh pendidikan dihambat karena biaya sekolah dasar-menengah yang semakin tak terjangkau. Sementara animo masyarakat biasa semakin mengecil untuk bisa belajar ke perguruan tinggi favorit di tanah air. Mereka hanya cukup mimpi untuk mengenyam ke pendidikan tinggi seperti UI, UGM, ITB, IPB, UNAIR, dsb. Opini publik telah terlanjur mendewakan pernyataan bahwa pendidikan bermutu membutuhkan biaya mahal. Keadaan ini telah meruntuhkan keberanian mental masyarakat miskin untuk memperoleh hak yang sama. Orang miskin semakin sulit untuk menjadi pandai dan mendapatkan pekerjaan yang layak.
Pendidikan dan kesehatan merupakan hak asasi setiap warga negara. Pelayanan dasar seharusnya mendapat perhatian utama dari negara. Komitmen ini awalnya tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang kita miliki. Anggaran minimal 20% untuk bidang pendidikan sudah tak berarti setelah Keputusan Mahkamah Konstitusi, karena aspek gaji tenaga pendidikan termasuk didalamnya. Sulit rasanya implementasi alokasi anggaran dapat mengurangi beban warga negara dalam aksesabilitas pendidikan. Sementara Keputusan MPR RI untuk mengejar anggaran minimal 15 % untuk bidang kesehatan masih dalam batas keinginan. Yang ditemukan adalah kenyataan sebaliknya..
 
Kini, sistem penyelenggaraan bidang pendidikan dan kesehatan terimbas oleh pengaruh global yang cenderung berorientasi ekonomis dan kapitalistis. Problem biaya pendidikan dan kesehatan yang semakin tinggi, sering dihubungkan dengan mutu dan kemampuan membayar masyarakat. Pendidikan dan kesehatan semakin menjadi komoditi oleh para penyelenggara pelayanan. Ada kecenderungan pengingkaran terhadap filosofi awal penyelenggaraan  kedua pelayanan dasar, yang seharusnya bernilai sosial. Kini istilah Jawa ”ana rega ana rupa” (ada harga ada rupa) sudah masuk dalam wacana dunia pelayanan pendidikan dan kesehatan. Semboyan ini berbau individualis, karena tidak memberikan masyarakat kurang mampu mendapatkan akses pelayanan yang sama. Asas keadilan dan pemerataan hanya dimaknai sepihak oleh penyedia pelayanan.
 
Jika masyarakat semakin sulit mengakses fasilitas pendidikan artinya mereka mengalami “pembodohan”. Kecenderungan pengurangan peran pemerintah terhadap penyelenggaraan pendidikan, masyarakat harus menanggung beban anggaran sekolah dan PTN. Ini menjadi tidak rasional ketika masyarakat sedang berjuang menghadapi kenaikan harga sembako, disisi lain berpikir membayar sekolah anaknya yang terasa mahal. Otonomi sekolah dipraktekkan sebagai kebebasan pengelolaan anggaran, yang berarti penarikan pungutan biaya sekolah kepada masyarakat secara bebas pula. Kecenderungan ini menjadi semakin tidak terkendali, masing-masing sekolah mempunyai target dan mimpi yang berbeda. Belum ada rambu-rambu standarisasi pengelolaam keuangan yang jelas. Target sekolah yang berlebihan, sehingga membebani orang tua siswa.
 
Komersialisasi pelayanan kesehatan tengah berkembang sedemikian hebat seakan menjadi kewajaran. Kecenderungan Pemberi Pelayanan Kesehatan berorintasi keuntungan. Beberapa rumah sakit secara terang-terangan berbentuk PT. Di sisi lain masih terjadi problem asimetri informasi-komunikasi antara penyedia layanan dengan pasien. Penyedia layanan pada posisi pengendali pada “transakasi” jual beli pelayanan kesehatan. Petugas kesehatan sangat menentukan demand (permintaan), karena pasien kurang mengetahui wilayah profesi kesehatan. Pada kenyataannya sering didapatkan biaya pengobatan yang berlebihan dan semakin mahal. Akibatnya setelah melakukan pengobatan di layanan kesehatan, keluarga pasien semakin menurun kemampuan ekonominya. Mestinya orang sakit pergi ke penyedia layanan kesehatan agar sehat dan semakin produktif. Penyelenggaaraan layanan kesehatan akan menambah beban baru,  orang miskin menjadi bertambah karena biaya yang terlampau tinggi. Secara keseluruhan pelaksanaan penjaminan kesehatan bagi penduduk miskin belum terasa efektif.
 
Akibat problem kesulitan mengakses kedua pelayanan tsb, kita sulit memutus lingkaran setan yang seakan tanpa ujung. Dampak pada titik terbawah masyarakat mengalami kebodohan dan kelaparan yang tidak berkesudahan. Kasus gizi buruk memang tidak semata-mata karena kemiskinan, bisa karena kasus infeksi atau penyakit lain yang menyertainya. Namun jika diruntut tentu berakhir pada perilaku, sikap dan pengetahuan yang kurang sesuai. Keadaan ini merupakan ekses dari layanan pendidikan yang sulit dijangkau. Pendidikan masih menjadi satu-satunya peluang bagi masyarakat miskin untuk meraih mobilitas vertikal.
 
Situasi ekonomi liberal seperti sekarang, sulit bagi mereka untuk mampu bersaing dalam perdagangan maupun menekuni pertanian. Faktor permodalan, ketrampilan maupun pengetahuan yang tidak cukup, menjadi kendala keluar dari persoalan hidup sehari-hari. Disisi lain, kenaikan harga sembako yang terus melambung semakin mengurangi kemampuan membeli.  Intak gizi yang cukup membutuhkan biaya. Kesehatan merupakan modal seseorang untuk tetap survive dan produktif. Gizi buruk mengancam kualitas manusia Indonesia di masa mendatang. Pemerintah harus legawa untuk mengakui kelemahan yang ada, tidak perlu defensif dan apologi. Kita semua melihat, bagaimana kinerja pemerintahan selama ini. Problem kemiskinan, gizi buruk, kebodohan sesungguhnya telah berjalan lama. Kita tidak perlu menyalahkan dan meratapi keadaan. Adalah keharusan bagi negara untuk memenuhi hak warga negara agar tetap terpeliharan kesehatannya dan mengenyam pendidikan secara memadai. Jalan yang harus ditempuh pemerintah sekarang adalah segera memenuhi tuntutan rakyat dan mengevaluasi kembali segala program pengentasan kemiskinan. Alokasi anggaran pemerintah yang melebihi 60 trilyun pertahun merupakan jumlah yang luar biasa besarnya. Mengapa upaya pengentasan kemiskinan dari waktu ke waktu belum dirasakan secara nyata dan signifikan oleh masyarakat. Mampukah kabinet SBY-JK menunjukkan perubahan kinerjanya agar rakyat tetap mau memilih kembali pada Pemilu 2009 ? Wallahu’alam.