Pendidikan Untuk Semua Gratis Bagi Masyarakat, Mahal Bagi Negara

Pendidikan Untuk Semua Gratis Bagi Masyarakat, Mahal Bagi Negara

 

Oleh dr. Sunarto

 

Pendidikan dasar gratis bagi masyarakat DIY kini terus menjadi perbincangan berbagai kalangan. Bagi mereka yang berada dalam wilayah kekuasaan kependidikan masih beranggapan bahwa pendidikan tidak mungkin gratis. Dibarengi dengan berbagai argumen yang dibangun untuk mencitrakan bahwa pendidikan itu mahal dan perlu partisipasi (uang)  masyarakat.  Yang menarik adalah sambutan Gubernur DIY pada Hardiknas Mei 2007, yang dapat disimpulkan bahwa pendidikan gratis perlu dipikirkan dan diupayakan di wilayah DIY. Di Propinsi DIY sangat berpotensi, mengklaim sebagai Kota Pendidikan mestinya lebih mengutamakan warganya agar mudah mendaptkan akses pendidikan secara gratis dan bermutu. Perlu diingat bahwa, di daerah lain sudah bukan hal yang istimewa, seperti Sukoharjo, Jembrana, Banyuasin, Natuna dan lainnya, kini telah menyelenggarakan pendidikan dasar dan menengah gratis bagi warganya. Demikan pula pada daerah yang biaya hidup dan harga keperluan sekolah mahal, Pemprov DKI Jakarta sudah memberikan pembiayaan gratis bagi siswa sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) Negeri di Jakarta.

Harapan dari rintisan dana BOS 2005-2006, Mendiknas berharap, dana BOS itu seharusnya masih ditambah biaya operasional pendidikan (BOP) yang ditanggung APBD sehingga sudah memadai untuk menuntaskan program wajib belajar baik gratis maupun mendekati gratis di Indonesia. BOS adalah subsidi dari pemerintah pusat, tetapi tanggung jawab utama untuk pendidikan dasar dan menengah serta Madrasah Ibtidaiyah kewenangannya ada pada pemerintah kabupaten/kota. BOS itu hanya bantuan saja dari pemerintah pusat terhadap pembiayaan pendidikan kabupaten kota. Jadi mestinya pembiayaan pendidikan yang utama berasal dari pemerintah kabupaten/kota. Namun justru beberapa pemerintah kabupaten/kota yang menjadikan BOS sebagai pendapatan utama sementara anggran daerah hanya sebagai pelengkap saja bahkan ada yang menghentikan sama sekali BOP setelah adanya BOS.

Secara umum di DIY masih menghadapi masalah akses dan pemerataan pendidikan. Masih adanya siswa putus sekolah, baik dengan alasan ekonomi maupun non ekonomi. Disamping itu, kurang meratanya kualitas pendidikan di Propinsi DIY. Pola pikir dan kemampuan profesional guru belum memuaskan, mis. berkaitan dengan implementasi kurikulum baru (KTSP). Sementara beberapa sekolah mencanangkan diri sebagai sekolah standar nasional bahkan internasional yang menurut mereka berkonsekwensi pada kenaikan biaya pendidikan. Menurut para ahli bahwa peningkatan standar ini hanya lebih berkonotasi pada peningkatan teknologi serta sarana dan prasarana saja, namun tidak menyentuh pada subtansi mutu yang sesungguhnya. Akibat klaim standar ini menciptakan opini masyarakat bahwa sekolah-sekolah ini tidak memberikan akses yang adil terutama masyarakat miskin yang ingin memperoleh fasilitas pendidikan dari negara. Yang dikhawatirkan munculnya stigma diskriminasi dalam pendidikan, orang miskin dilarang sekolah di DIY. Mudah-mudahan tidak.

Sesungguhnya kita telah mempunyai komitmen yang dituangkan dalam Peraturan Perundangan terhadap pendidikan di Indonesia, berikut

A.1.  Undang-Undang Dasar 1945, Bab XIII, Pasal 31:
(1)    Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2)    Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya

A.2. Undang-Undang Dasar 1945, Bab XIII, Pasal 31
(3)  Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

B. UU Sisdiknas tahun No 20 Tahun 2003:

a. Bagian Keempat,  Pasal 11

(1)        Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
(2)        Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.

Bab VIII pasal 34 ayat 2: “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”. Konsekwensi yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah adalah memberikan alokasi dana untuk membiayai seluruh komponen Biaya Satuan Pendidikan, apapun kemampuan keuangan Pemerintah.

Pendidikan gratis yang dimaksud adalah bermakna membebaskan siswa dari seluruh pungutan yang dibebankan pada siswa. Jika kita berkomitmen DIY menuju Wajib Belajar 12 Tahun (Anak usia sekolah wajib menyelesaikan pendidikan minimal SMA/Sederajat) yang dituangkan dalam Grand Strategy Pembangunan di Pemda Propinsi DIY dan RPJM Pemda Propinsi DIY tahun 2006-2011. Implikasinya semua rintangan yang menghalangi anak menempuh pendidikan menengah atas harus dihilangkan. Demikian halnya dalam Visi Pememerintah Kota Jogjakarta yang sering  disampaikan dalam berbagai media oleh para pejabat bahwa : Tidak ada penduduk usia sekolah (TK sd SMU/SMK) di Kota Yogyakarta yang tidak sekolah karena alasan ekonomi

Bahwa pendidikan adalah hak warganegara yang harus diberikan oleh negara (Pemerintah) kepada rakyatnya. Kesulitan rakyat terhadap akses memperoleh pendidikan yang merata dan memadai harus disikapi dengan upaya tanggungjawab Pemerintah mewujudkanya melalui alternatif kebijakan yang tepat. Masyarakat yang notabene secara umum belum bisa secara mandiri membiayai proses pendidikan dasar-menengah bukan terus menerus dijadikan sasaran mobilisasi dana. Pemerintahlah yang harus berinisiatif mengupayakan alokasi anggaran dengan strategi dan kebijakan yang berpihak pada rakyatnya bukan senantiasa beralibi pada bayang-bayang kesulitan dan kekhawatiran yang kurang masuk akal. Masyarakat belum melihat pemanfanfaatn anggaran pemerintah secara optimal, karena peluang pemborosan masih sangat lebar. Selain itu belum terasa upaya sungguh-sungguh dari pemerintah melayani masyarakat dalam memperoleh jaminan pendidikan secara wajar.

Kelompok Kerja Pendidikan Gratis Jogjakarta telah mencoba menghitung kebutuhan operasional sekolah dalam satuan Unit Cost dalam bentuk Kertas Posisi. Penghitungan ini berdasarkan hasil survey RAPBS di DIY, berkaitan dengan pemanfaatan dana BOS tahun 2006. Penggunaan dana BOS rata-rata di DIY masih mendekati 48% dari total biaya operasional sekolah. Kekurangannya (52 %) ditambahkan hingga mencapai unit cost kebutuhan sekolah di DIY. Mestinya APBD kita akan menanggung kekurangan dari subsidi dana BOS tsb. Hasil hitungan ini bukan kategori kebutuhan minimal, bahkan dapat dikategorrikan pada level mendekati kebutuhan pelayanan prima.

Hasil kerja Pokja Pendidikan DIY semata-mata ingin memberikan gambaran umum kebutuhan total anggaran yang harus disediakan Pemerintah Kabupaten/ Kota. diharapkan menjadi salah satu acuan, sebagai bahan estimasi prosentase anggaran pendidikan disesuai data. Disimpulkan sementara bahwa kebutuhan total anggaran pendidikan berdasarkan unit cost dikalikan jumlah usia sekolah di masing-masing tingkatan di Kab/ Kota wilayah DIY berkisar 9% dari total APBD. Tentu akan ada variasi antar masing-masing Kabupaten / Kota. Biaya ini berkaitan langsung dengan kebutuhan operasional sekolah, bukan untuk biaya tidak langsung seperti dana pembangunan gedung dsb. Maka diharapkan setiap warga yang terkena wajib belajar akan mendapatkan jaminan biaya sekolah dari Pemerintah. Mudah-mudahan tulisan ini dapat mengundang berbagai pihak untuk turut mendukung mewujudkan Pendidikan Gratis bagi masyarakat dan mahal bagi negara. Karena negara telah berkomitmen untuk mensejahterakan rakyatnya, bukan membiarkan saja warganya “berkompetisi” tidak pasti dalam memperoleh pelayanan pendidikan.

Sunarto, dr
Anggota Pokja Pendidikan Gratis