kritik terhadap fakta haram merokok mui

KRITIK TERHADAP FATWA HARAM MEROKOK MUI
Oleh : dr. Titik Kuntari, MPH
 
    BARU-BARU ini Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia [MUI] baru saja mengeluarkan tiga buah fatwa yakni: Berkaitan dengan fatwa haram merokok bagi anak-anak , remaja,wanita hamil dan pengurus MUI serta merokok ditempat-tempat umum, fatwa haram bagi golput serta fatwa mubah bagi olah raga yoga yang murni untuk kepentingan kesehatan [tanpa ritual tertentu]. Hasil ijtima’ Komisi Fatwa MUI III di Padang Panjang ini merupakan sebuah gebrakan baru, mengingat pada fatwa yang pertama dan ke dua [berkaitan dengan rokok dan golput], secara langsung MUI sedang memasuki wilayah pengaturan terhadap dinamika publik yang lebih luas dan wilayah politik praktis – mengingat selama ini MUI lebih banyak berperan dalam wilayah high-politic atau politik nilai.
  
 Berkaitan dengan fatwa haram rokok — Selama ini, Ummat Islam umumnya mengenal hukum merokok berada pada wilayah makruh dan itupun masih terbuka peluang khilafiyah [perbedaan pandangan] yang lebih luas [Ahkamu lam tadulla ‘alayhaa nushushun laa qath’iyyatun wa laa zhaniyyatun wa lam yan’aqid’ ijmaa’un ‘alayhaa minal mujtahiddin fii ashri minal ushuri {hukum yang tidak dari nas, baik qat’i[pasti] ataupun zanni[dugaan], dan tidak pula ada kesepakatan mujtahidin atas hukum itu}]. Sebagaimana kita ketahui, bahwa dalil fiqh itu adalah: Al-Qur’an, Hadist, Ijma’ mujtahidin dan Qias. Dan sebagian para Ulama juga menambahkan Istihsan, Istidlal, ‘Urf dan istishab. Dan berdasarkan kaidah di atas [bahwa tidak ada nas yang mengharamkan merokok], tidak sedikit dari para Ulama sendiri yang condong ke pendapat mubah [boleh] tentang rokok. Ini dapat kita buktikan dengan tidak sedikit pula  para Ulama yang juga berstatus sebagai perokok aktif. Pemikiran bahwa kegiatan merokok merupakan sebuah perbuatan makruh [jika dilakukan tidak apa-apa, namun jika tidak dilakukan berpahala] sebenarnya sejauh ini merupakan prinsip yang paling ideal untuk menjembatani ketiga pandangan yang ada, yakni pandangan yang mengharamkannya, memakruhkannya dan memubahkannya.
    Maka, pasca ijtima’ dan publikasi hasil ijtima’ yang memang sudah ditunggu-tunggu tersebut karena memang sudah diwacanakan cukup lama – Maka meski tidak ada nas yang secara eksplisit mengatur tentang fenomena rokok, dengan ijma’-ijtima’ [kesepakatan pertemuan Ulama] tersebut maka posisi ummat berada pada hasil ijma’ tersebut [Ahkamu lam tadulla ‘alayha nushushun laa qath’iyyatun wa laa zhaniyyatun wa laa kinin aqada ‘alayha ijma’ul mujtahidina fii ashri minal ushuri {Hukum yang tidak ada nas, baik secara qat’i [pasti] maupun secara zanni [dugaan], tetapi pada suatu masa telah sepakat [ijma’] mujtahidin atas hukum-hukumnya}]. Dan hasil sebuah ijma’ para ulama mujtahidin tentu sudah disandarkan kepada hasil penelitian yang teliti dan dampak baik dan buruknya sebuah perbuatan terhadap diri manusia [Darul Mafasid awla min jalbil masholih=kaidah menolak segala yang mungkar jauh lebih baik daripada menarik segala yang maslahat].  Maka dengan prinsip ini, wajib bagi semua ummat Islam untuk mematuhi fatwa tersebut.
 
    Kita semua sepakat bahwa aktivitas merokok sangat merugikan kesehatan. Sudah ada begitu banyak hasil riset yang menunjukkan fakta tersebut. Bahkan di bungkus-bungkus rokokpun, tidak kurang-kurangnya peringatan tersebut disampaikan dalam bentuk himbauan: “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin.” Di dalam kadar yang aman saja  [14 MG Tar dan 1 MG Nikotin], menghisap sebatang rokok tetap berbahaya bagi kesehatan manusia. Dan harus kita akui bahwa fatwa haram merokok [dengan berbagai catatan tersebut] merupakan sebuah langkah maju di dalam kompilasi istimbath hukum Islam dan harus kita apresiasi dengan positif meski masih ada kesan bias di dalam formula fatwa itu sendiri.
 
    Ada dua bias yang sangat terlihat yakni : pertama bias gender, seperti mengapa hanya wanita hamil yang diharamkan merokok – tidak beserta suaminya sekaligus. Padahal menurut hasil riset kesehatan, seorang perokok pasif justru mendapatkan pengaruh yang lebih buruk ketimbang seorang perokok aktif. Seorang isteri yang sedang hamil , duduk di sebuah ruangan privat [bukan area publik/area yang diperkenankan merokok berdasarkan fatwa tersebut] bersama suaminya yang merokok – juga akan membahayakan kesehatannya dan janin yang dikandungnya. Kedua, bias terhadap proteksi kesehatan itu sendiri. Sebagai contoh, larangan merokok bagi anak-anak di bawah umur. Di tengah-tengah sebuah keluarga yang anggota keluarga dewasanya merokok, tentu fatwa ini tidak akan terlalu berpengaruh terhadap kesehatan si anak karena anak tetap akan menjadi perokok pasif, yang notabene risikonya lebih besar dari perokok aktif. Idealnya MUI juga mempertimbangkan bahwa laki-laki [kepala keluarga] dan orang tua memiliki peran yang sentral di dalam membentuk sebuah konstruksi pola hidup sehat [uswah] keluarga sehingga pengaturan terhadap budaya merokok pria/suami seharusnya lebih ketat lagi.  Nilai yang dikembangkan di tengah-tengah keluarga, dalam perspektif anak semuanya baik. Sehingga, apapun yang dikerjakan dan dikatakan oleh orang tua akan ikut dilakukan (proses imitasi) oleh si anak. Sebagai contoh, jika si orang tua senang mengucapkan kata-kata yang kasar, demikian juga tradisi lisan anak akan berkembang dengan struktur yang sama. Jika Bapak dan Ibunya sering ribut di depan anak, maka dalam lingkungan bermainnya si anak akan mengembangkan hal yang sama. Termasuk juga dalam hal merokok. Jika orang tua, melakukan kegiatan merokok dengan frekuensi tinggi di depan si anak maka akan muncul keinginan anak (curiosity) untuk mencoba merasakan kenikmatan di balik aktivitas merokok. Dapat kita simpulkan bahwa fatwa haram merokok MUI masih sulit diimplementasikan secara tepat.
 
    Begitu pula dengan posisi dan peran para Ulama yang tidak terlibat di dalam kepengurusan MUI – juga layak untuk dipertanyakan, mengingat fungsi dan pengaruh sosial mereka yang sangat strategis di tengah-tengah ummat. Sikap, perbuatan dan perkataan seorang Ulama merupakan sumber inspirasi bagi ummat. Sementara itu, prosentase Ulama di luar kepengurusan MUI jauh lebih besar sehingga dengan demikian efektifitas fatwa ini juga agak diragukan jika tidak didukung oleh Ulama jumhur. Apalagi dari berbagai pernyataan di media, dua ORMAS Islam terbesar [NU dan Muhammadiyah] juga tidak terlalu mendukung hadirnya fatwa haram merokok ini. MUI harus berfikir mencari metode pendekatan untuk merangkul semua komponen aliem-ulama agar berpartisipasi aktif di dalam mensosialisasikan fatwa ini.
 
    Semoga ke depan, MUI benar-benar dapat menghasilkan fatwa yang berpihak secara penuh terhadap kesehatan dan gender yakni dengan memfatwakan haram untuk semua aktivitas yang berkaitan dengan rokok untuk semua kalangan tanpa harus memandang jenis kelamin,usia dan profesi. Semoga pula sikap mendua dalam fatwa rokok ini bukan akibat dari tekanan para pengusaha rokok yang terganggu kepentingan bisnisnya.Wallahu A’lamu Bishawwab