Demam Tifoid

 Salah satu penyakit infeksi sistemik akut yang banyak dijumpai di berbagai belahan dunia hingga saat ini adalah demam tifoid yang disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella typhi. Di Indonesia, demam tifoid lebih dikenal oleh masyarakat dengan istilah “penyakit tifus”.

Dalam empat dekade terakhir, demam tifoid telah menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Diperkirakan angka kejadian penyakit ini mencapai 13-17 juta kasus di seluruh dunia dengan angka kematian mencapai 600.000 jiwa per tahun. Daerah endemik demam tifoid tersebar di berbagai benua, mulai dari Asia, Afrika, Amerika Selatan, Karibia, hingga Oceania. Sebagain besar kasus (80%) ditemukan di negara-negara berkembang, seperti Bangladesh, Laos, Nepal, Pakistan, India, Vietnam, dan termasuk Indonesia. Indonesia merupakan salah satu wilayah endemis demam tifoid dengan mayoritas angka kejadian terjadi pada kelompok umur 3-19 tahun (91% kasus).1,3,4 

Munculnya daerah endemik demam tifoid dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain laju pertumbuhan penduduk yang tinggi, peningkatan urbanisasi, rendahnya kualitas pelayanan kesehatan, kurangnya suplai air, buruknya sanitasi, dan tingkat resistensi antibiotik yang sensitif untuk bakteri Salmonella typhi, seperti kloramfenikol, ampisilin, trimetoprim, dan ciprofloxcacin.1
 
Penularan Salmonella typhi terutama terjadi melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi. Selain itu, transmisi Salmonella typhi juga dapat terjadi secara transplasental dari ibu hamil ke bayinya.4
Manifestasi Klinik dan Temuan Fisik 
Masa inkubasi Salmonella typhi antara 3-21 hari, tergantung dari status kesehatan dan kekebalan tubuh penderita. Pada fase awal penyakit, penderita demam tifoid selalu menderita demam dan banyak yang melaporkan bahwa demam terasa lebih tinggi saat sore atau malam hari dibandingkan pagi harinya. Ada juga yang menyebut karakteristik demam pada penyakit ini dengan istilah ”step ladder temperature chart”, yang ditandai dengan demam yang naik bertahap tiap hari, mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama kemudian bertahan tinggi, dan selanjutnya akan turun perlahan pada minggu keempat bila tidak terdapat fokus infeksi.1,4
Gejala lain yang dapat menyertai demam tifoid adalah  malaise, pusing, batuk, nyeri tenggorokan, nyeri perut, konstipasi, diare, myalgia, hingga delirium dan penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan adanya lidah kotor (tampak putih di bagian tengah dan kemerahan di tepi dan ujung), hepatomegali, splenomegali, distensi abdominal, tenderness, bradikardia relatif, hingga ruam makulopapular berwarna merah muda, berdiameter 2-3 mm yang disebut dengan rose spot.2,4
 
Penegakan Diagnosis
Pada pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan adanya penurunan kadar hemoglobin, trombositopenia, kenaikan LED, aneosinofilia, limfopenia, leukopenia, leukosit normal, hingga leukositosis.5  
 
Gold standard untuk menegakkan diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan kultur darah (biakan empedu) untuk Salmonella typhi. Pemeriksaan kultur darah biasanya akan memberikan hasil positif pada minggu pertama penyakit. Hal ini bahkan dapat ditemukan pada 80% pasien yang tidak diobati antibiotik. Pemeriksaan lain untuk demam tifoid adalah uji serologi Widal dan deteksi antibodi IgM Salmonella typhi dalam serum. 1,2,4
 
Uji serologi widal mendeteksi adanya antibodi aglutinasi terhadap antigen O yang berasal dari somatik dan antigen H yang berasal dari flagella Salmonella typhi. Diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan apabila ditemukan titer O aglutinin sekali periksa mencapai ≥ 1/200 atau terdapat kenaikan 4 kali pada titer sepasang. Apabila hasil tes widal menunjukkan hasil negatif, maka hal tersebut tidak menyingkirkan kemungkinan diagnosis demam tifoid.4,5  

Penatalaksanaan
Hingga saat ini, kloramfenikol masih menjadi drug of choice bagi pengobatan demam tifoid di Indonesia. Dosis yang diberikan pada pasien dewasa adalah 4 x 500 mg hingga 7 hari bebas demam. Alternatif lain selain kloramfenikol, yaitu: tiamfenikol (4 x 500 mg), kotrimoksazol (2 x 2 tablet untuk 2 minggu), ampisilin atau amoksisilin (50-150 mg/kgBB selama 2 minggu), golongan sefalosporin generasi III (contoh: seftriakson 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc selama ½ jam per infus sekali sehari untuk 3-5 hari), dan golongan fluorokuinolon (contoh: ciprofloxcacin 2 x 500 mg/hari untuk 6 hari).5
 
Di Amerika Serikat, pemberian regimen ciprofloxcacin atau ceftriaxone menjadi first line bagi infeksi Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol, ampisilin, trimethoprim-sulfamethoxazole, streptomycin, sulfonamides, atau tetrasiklin.1
 
Pada pasien anak, kloramfenikol diberikan dengan dosis 100 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 kali pemberian selama 10-14 hari. Regimen lain yang dapat diberikan pada anak, yaitu: ampisilin (200 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 kali pemberian IV), amoksisilin (100 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 kali pemberian PO), trimethoprim (10 mg/kg/hari) atau sulfametoksazol (50 mg/kg/hari) terbagi dalam 2 dosis, seftriakson 100 mg/kg/hari terbagi dalam 1 atau 2 dosis (maksimal 4 gram/hari) untuk 5-7 hari, dan sefotaksim 150-200 mg/kg/hari terbagi dalam 3-4 dosis.4
Pemberian steroid diindikasikan pada kasus toksik tifoid (disertai gangguan kesadaran dengan atau tanpa kelainan neurologis dan hasil pemeriksaan CSF dalam batas normal) atau pasien yang mengalami renjatan septik. Regimen yang dapat diberikan adalah deksamethasone dengan dosis 3×5 mg. Sedangkan pada pasien anak dapat digunakan deksametashone IV dengan dosis 3 mg/kg dalam 30 menit sebagai dosis awal yang dilanjutkan dengan 1 mg/kg tiap 6 jam hingga 48 jam. Pengobatan lainnya bersifat simtomatik.4,5      
 
Komplikasi
Salah satu komplikasi demam tifoid yang dapat terjadi pada pasien yang tidak mendapatkan pengobatan secara adekuat adalah perforasi dan perdarahan usus halus. Komplikasi ini sering terjadi pada minggu ketiga yang ditandai dengan suhu tubuh yang turun mendadak, adanya tanda-tanda syok dan perforasi intestinal seperti nyeri abdomen, defance muscular, redup hepar menghilang. Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah pneumonia, miokarditis, hingga meningitis.2,4
 
Pencegahan
Pencegahan infeksi Salmonella typhi dapat dilakukan dengan penerapan pola hidup yang bersih dan sehat. Berbagai hal sederhana  namun efektif dapat mulai dibiasakan sejak dini oleh setiap orang untuk menjaga higientias pribadi dan lingkungan, seperti membiasakan cuci tangan dengan sabun sebelum makan atau menyentuh alat makan/minum, mengkonsumsi makanan dan minuman bergizi yang sudah dimasak matang, menyimpan makanan dengan benar agar tidak dihinggapi lalat atau terkena debu, memilih tempat makan yang bersih dan memiliki sarana air memadai, membiasakan buang air di kamar mandi, serta mengatur pembuangan sampah agar tidak mencemari lingkungan.
Referensi

  1. Cammie F. Lesser, Samuel I. Miller, 2005. Salmonellosis. Harrison’s Principles of Internal Medicine (16th ed), 897-900.
  2. Chambers, H.F., 2006. Infectious Disease: Bacterial and Chlamydial. Current Medical Diagnosis and Treatment (45th ed), 1425-1426.
  3. Brusch, J.L., 2010, Typhoid Fever. http://emedicine.medscape.com/article/231135-overview.
  4. Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008, Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis (2nd ed), Badan Penerbit IDAI, Jakarta.
  5. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006, Standar Pelayanan Medik, PB PABDI, Jakarta.

————————————

Oleh: dr. Dimas Satya Hendarta
Staff Edukatif Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia